Bab 1: Seragam, Senyap, dan Sebuah Puisi
Langit pagi itu berwarna kelabu, seperti lembar kertas kosong yang menunggu ditulisi sesuatu—atau seseorang.
Naira melangkah melewati gerbang sekolah dengan langkah tenang, nyaris tak terdengar. Seragam putih abu-abunya rapi, rambut panjangnya dikuncir satu tanpa banyak hiasan, dan seperti biasa, ia berjalan sendirian.
Bukan karena tak ada yang mau berjalan bersamanya. Tapi karena ia merasa lebih nyaman begitu.
Di tangan kirinya, ia menggenggam buku kecil berwarna cokelat dengan tali karet yang sudah melonggar. Isinya bukan catatan pelajaran atau jurnal tugas. Buku itu adalah tempat semua perasaannya bersembunyi: puisi-puisi yang tak pernah dibaca siapa pun.
Kecuali dirinya sendiri.
Kelas 11 IPA 2 sudah mulai terisi ketika Naira tiba. Ia memilih duduk di barisan ketiga dari belakang, dekat jendela. Tempat favoritnya. Dari sana, ia bisa melihat langit, pepohonan, dan kadang, burung-burung kecil yang hinggap di pagar luar.
"Naira! Ada pengumuman penting dari Bu Dinda!"
Suara itu datang dari Intan, sahabatnya sejak SMP. Ceria, supel, dan kontras sekali dengan Naira.
"Kita dapet proyek kolaborasi lintas jurusan. Harus kerja kelompok campur-campur. Seru banget, kan?"
Naira mengangkat alis.
"Seru buat kamu, mungkin."
Intan tertawa.
Beberapa jam kemudian, mereka semua dikumpulkan di aula untuk pembagian kelompok. Proyeknya adalah pameran akhir semester bertema "Ekspresi Jiwa Remaja"—setiap kelompok diminta menyusun karya visual atau pertunjukan yang menggambarkan keresahan anak muda.
Naira diam-diam antusias. Ia langsung berpikir tentang puisinya—bagaimana jika ia bisa menampilkan puisi itu dengan ilustrasi atau musik?
Tapi harapannya mulai retak saat namanya disebut:
"Kelompok 7: Naira, Alvan, Rani, Bagas."
Naira langsung menoleh ke arah Alvan—siswa kelas IPS yang terkenal suka bolos, suka tidur di kelas, dan dicap "anak masalah".
Alvan hanya mengangkat tangan malas sambil duduk santai di bangku belakang aula, jaket hitamnya tergantung di pundak meski sedang di dalam ruangan.
Tatapan mata mereka bertemu. Alvan menyeringai kecil.
Dan dalam senyumnya, Naira merasa... repot.
Di perpustakaan setelahnya, Naira duduk termenung. Di depannya ada buku puisi Sapardi Djoko Damono, terbuka di halaman acak. Tapi pikirannya tak bisa fokus.
Kenapa harus dia?
Ia sedang menulis bait puisi baru saat sebuah suara memecah keheningan.
"Kamu Naira, kan?"
Ia mendongak. Alvan berdiri di depan mejanya, menyender santai ke rak buku.
"Dengar-dengar kamu suka nulis puisi. Berarti kamu jago ngerangkai kata?"
Naira menatapnya waspada.
"Apa maksudmu?"
"Tenang, gue nggak bakal ngejek. Justru gue penasaran. Lo bisa bantu kita menangin proyek ini?"
Nada bicaranya santai, tapi matanya… tidak main-main.
Naira mengangguk pelan.
"Tapi aku nggak suka dipaksa ngomong kalau nggak perlu."
"Sama. Tapi gue juga nggak suka kerja bareng orang yang diem terus."
Mereka saling diam selama beberapa detik.
Lalu, entah kenapa, Naira berkata:
"Kalau gitu... kita saling belajar."
Alvan mengangguk, lalu berbalik pergi.
Saat itu, Naira membuka kembali buku puisinya. Dan dengan tangan gemetar, ia menulis:
Hari ini, aku berjalan bersama badai,tapi mungkin...badai itu tak selamanya ingin menghancurkan langit.