Cherreads

Chapter 7 - Bab 7: Senyum yang Tidak Seharusnya Muncul

Pagi itu, Alvan datang lebih cepat dari biasanya. Langkahnya santai seperti biasa, tapi matanya sibuk mencari-cari. Saat ia duduk di bangkunya, ia membuka buku catatan proyek. Dan di sana—terselip kertas kecil, dilipat rapi.

Tulisan tangan Naira.

Ia membacanya perlahan:

"Aku bukan seseorang yang butuh dijaga.Tapi aku juga tak keberatan jika kamu tetap tinggal."

Alvan menatap kertas itu lama. Lalu senyum kecil muncul di sudut bibirnya. Bukan senyum jahil khas anak nakal, tapi senyum ringan… seperti seseorang yang baru saja menemukan tempat pulang.

Siang harinya, mereka kembali latihan proyek di aula. Naira menyampaikan narasi pembuka, Alvan melatih bagian penutup dengan semangat yang tidak biasa.

"Kamu kenapa semangat banget hari ini?"tanya Bagas, sambil mengangkat alis.

"Habis minum kopi campur semangat hidup."jawab Alvan santai, membuat semua tertawa.

Tapi hanya Naira yang tahu alasan sebenarnya.

Setelah latihan selesai, Alvan mengajak Naira duduk di kursi panjang dekat taman belakang sekolah. Angin sore bertiup pelan, dan suasana tenang seperti biasa. Tapi di hati Naira, semuanya sedang tidak tenang.

"Kamu beneran nulis itu buat aku?"tanya Alvan tiba-tiba.

Naira mengangguk pelan.

"Kalau bukan buat kamu, nggak akan aku selipin di buku kamu."

Alvan tertawa kecil.

"Kamu tuh... beda."

"Semua orang beda, Van."

"Iya. Tapi kamu... nggak cuma beda. Kamu ngebuat gue jadi pengen belajar diem."

Naira menoleh, menatapnya.

"Dan kamu bikin aku... belajar bersuara."

Sayangnya, dunia tidak selalu senang melihat dua jiwa yang saling menemukan satu sama lain.

Hari berikutnya, Naira mulai jadi bahan gosip di grup WA sekolah.

📸 "Tuh kan! Mereka makin nempel aja!"📸 "Cewek kutu buku itu emang haus perhatian, ternyata."📸 "Kasian si Intan, sahabatnya malah ngerebut Alvan."

Rasa sakit itu datang lagi. Tapi kali ini, Naira tidak diam. Ia pergi ke atap sekolah—tempat tersembunyi yang hanya segelintir siswa tahu.

Dan di sana, Alvan sudah menunggu.

"Kamu di sini karena mereka?"tanyanya tanpa menoleh.

Naira duduk di sampingnya, memeluk lutut.

"Mereka bisa bilang apa saja. Tapi yang paling nyakitin... adalah ketika sahabat sendiri ikut diam."

"Intan?"

Naira mengangguk.

"Dia belum bicara lagi sejak gosip itu mulai."

"Kamu marah?"

"Nggak. Aku cuma... kecewa."

Alvan menghela napas panjang.

"Tahu nggak, Na? Dulu gue pikir sendirian itu menyelamatkan. Tapi ternyata, ada yang lebih nyakitin dari kesepian yaitu dihakimi waktu lagi berusaha berubah."

Naira menoleh padanya, matanya berkaca-kaca.

"Aku juga lagi belajar berubah, Van. Tapi kadang, langkah kecil pun bisa terasa berat kalau dilihatin terlalu banyak mata."

"Berarti kita belajar bareng."

Hari itu, untuk pertama kalinya, mereka tidak bicara soal puisi. Tidak juga soal proyek.

Mereka hanya duduk diam di atap, menatap langit—sambil percaya bahwa meski dunia berisik, mereka bisa saling menjadi senyap yang menguatkan.

More Chapters