Cherreads

Chapter 4 - Bab 4: Suara yang Mulai Didengar

Hari Kamis, jam pelajaran terakhir baru saja berakhir ketika kelompok mereka diminta melakukan latihan presentasi di aula. Lampu sorot sudah disiapkan, pengeras suara diuji coba, dan layar besar di tengah panggung menampilkan latar hitam dengan kata putih bertuliskan: "Warna yang Tak Terlihat".

Naira berdiri di sisi belakang aula, menggenggam buku puisinya erat-erat. Sementara Alvan berdiri di tengah panggung dengan mikrofon di tangan, santai seperti biasa… tapi tatapannya serius.

"Gue akan bacain puisi Naira," kata Alvan, menoleh ke arah tim."Kita mulai dari bagian pertama. Kamera siap? Musik latar slow aja."

Naira menunduk, merasa tubuhnya kaku. Ia tidak pernah membayangkan puisinya akan dibacakan di depan siapa pun—apalagi oleh seseorang seperti Alvan. Tapi anehnya, ia tidak keberatan.

Lampu aula diredupkan. Musik lembut mulai mengalun. Dan Alvan membuka suara:

"Aku berjalan di lorong yang sama setiap hari,tapi tak pernah ada yang melihat jejakku."*

"Aku bicara dalam pikiran, berteriak dalam kepala,tapi dunia hanya mendengar kebisingannya sendiri."*

"Jika aku menghilang hari ini...adakah yang akan sadar aku pernah ada di sini?"

Suara Alvan rendah, pelan, tapi tegas. Setiap katanya seolah menusuk hening ruangan.

Naira nyaris menahan napas. Ini puisinya. Tapi saat dibacakan oleh Alvan, nadanya berubah. Jadi lebih tajam. Lebih nyata.

Dan saat bagian terakhir dibacakan:

"Aku bukan bayangan. Aku bukan diam.Aku hanya terlalu sering ditinggal tanpa ditanya."

Aula sunyi. Tak satu pun dari mereka bersuara. Bahkan Rani, si kritikus kelompok, hanya memandangi Alvan dengan ekspresi terkejut.

Latihan selesai. Semua masih diam.

"Keren."Bagas akhirnya bersuara."Nggak nyangka lo bisa segitu dalemnya, Van."

Alvan hanya tersenyum tipis.

"Itu puisinya Naira. Gue cuma bacain."

Semua mata kini beralih ke Naira.

Ia gugup. Tapi dalam hatinya, sesuatu mulai berubah. Ia merasa... dilihat.

Saat semua keluar aula, Naira berjalan sendiri. Tapi langkah di belakangnya menyusul cepat.

"Puisi kamu keren," kata Alvan.

"Kamu yang bikin terdengar seperti itu."

"Kamu tahu kenapa gue suka puisimu?" Alvan berhenti dan menatapnya.

"Karena kamu nulis apa yang banyak orang rasain, tapi nggak berani ngomongin."

Naira menunduk, jantungnya berdetak kencang.

"Aku nulis untuk diriku sendiri. Bukan buat dibacain."

"Mungkin… tapi kadang, suara yang ditulis untuk diri sendiri justru paling bisa menyentuh orang lain."

Malamnya, Naira menulis di buku hariannya:

Hari ini, aku mendengar suaraku dibacakan oleh orang lain.Dan untuk pertama kalinya, aku ingin menulis bukan hanya untukku.Tapi untuk semua orang yang merasa tak terlihat.

More Chapters