Cherreads

Chapter 8 - Bab 8: Benteng yang Retak

Minggu-minggu menjelang pameran akhir semester terasa makin padat. Proyek "Warna yang Tak Terlihat" jadi salah satu yang paling dinantikan di antara puluhan karya lain. Tapi di balik kerja keras itu, tekanan perlahan-lahan mulai menggerus semangat Naira.

Bukan karena tugas. Tapi karena orang-orang di sekitarnya mulai berubah—terutama Intan.

Pagi itu, Naira duduk di kantin, sendirian. Bukan karena Alvan tidak datang, tapi karena Intan yang biasanya selalu ada… kini menjauh. Ia duduk bersama geng kelas sebelah. Tertawa, ngobrol, seolah tak ada yang salah.

Naira memberanikan diri untuk mendekat.

"Intan, boleh ngomong sebentar?"

Intan menatapnya sebentar, lalu mengangguk malas. Mereka berjalan ke lorong belakang kantin.

"Kamu kenapa akhir-akhir ini jauhin aku?"tanya Naira pelan.

Intan menyilangkan tangan.

"Harusnya aku yang tanya. Sejak kamu deket sama Alvan, kamu berubah."

"Berubah gimana?"

"Kamu nggak cerita apa-apa. Kamu ngilangin dirimu yang dulu."

Naira terdiam. Lalu menjawab pelan, tapi tegas.

"Mungkin karena aku akhirnya tahu, jadi diriku yang dulu... itu cuma cara bertahan. Bukan cara hidup."

Intan terdiam. Ada luka yang tak terucap di matanya.

"Kamu takut aku ninggalin kamu?" tanya Naira hati-hati.

Intan mendengus.

"Aku takut kamu ninggalin aku demi orang yang dulu kamu benci."

"Aku nggak pernah benci Alvan. Aku cuma... belum kenal."

"Dan kamu nggak pernah kasih aku kesempatan buat ngerti kamu sekarang."

Percakapan itu berakhir tanpa pelukan. Tapi juga tanpa teriakan.

Kadang, sebuah persahabatan harus melewati masa retak untuk tahu apakah ia layak dipertahankan.

Di sisi lain, Alvan juga mulai menerima tekanan.

Salah satu guru BK—Pak Seno—memanggilnya ke ruang bimbingan dan mulai menginterogasi.

"Kamu serius ikut proyek ini karena niat, Van, atau cuma pengen dekat sama Naira?"

Alvan menatap lurus.

"Kenapa, Pak? Karena saya bukan siswa berprestasi?"

"Karena saya nggak mau kamu tarik orang lain ke arah yang salah."

Alvan tertawa sinis.

"Lucu. Saat saya bikin onar, saya disalahkan. Tapi saat saya berusaha berubah, saya juga disalahkan."

Pak Seno menunduk. Tapi tidak meminta maaf.

Sore itu, Alvan mendatangi Naira di ruang latihan.

"Gue capek."katanya, terduduk di lantai.

Naira meletakkan buku puisinya, duduk di sampingnya.

"Capek karena dunia nggak percaya kamu?"

"Capek karena gue mulai percaya sama dunia... tapi yang gue lihat cuma benteng."

"Kalau begitu, kita hancurin bentengnya pelan-pelan. Satu tembok tiap hari."

Alvan menatapnya.

"Lo yakin bisa?"

Naira mengangguk.

"Yakin. Karena aku nggak ngerjainnya sendirian."

Malamnya, Naira menulis lagi.

Hubungan yang dibangun dari luka bisa jadi rapuh,tapi jika dirawat dengan jujur…bisa jadi rumah tempat kita berteduh.

Hari ini aku tahu: bertahan bukan tentang kuat.Tapi tentang saling percaya saat semuanya mulai goyah.

More Chapters