Tiga bulan berlalu sejak perpisahan di stasiun itu. Dan hari ini, Naira kembali ke kotanya.
Langit sore menggantung dengan warna jingga yang menenangkan. Terminal bus ramai seperti biasa, tapi di sudutnya, berdiri seseorang yang membuat jantung Naira berdetak seperti dulu.
Alvan.
Ia tidak banyak berubah—masih dengan hoodie hitam kesayangannya, masih dengan tatapan mata yang selalu seperti memeluk diam-diam. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda: ia terlihat lebih... tenang. Lebih berdamai.
Naira menghampirinya perlahan.
"Kamu datang," katanya pelan.
"Gue janji kan? Waktu itu," jawab Alvan."Gue nggak akan bilang selamat tinggal. Karena gue tahu, kamu bakal balik."
Naira tertawa lirih, matanya berkaca-kaca.
"Gimana Bogor?"
"Cukup sepi. Tapi gue jadi lebih sering denger suara sendiri."
"Itu bagus?"
"Nggak selalu. Tapi sekarang, gue udah bisa duduk sama luka, tanpa pengen kabur."
Mereka berjalan berdua, menyusuri trotoar yang dulu sering mereka lewati sepulang sekolah. Tidak ada rencana, tidak ada arah. Hanya langkah-langkah yang saling menyesuaikan.
"Kamu udah berubah," kata Alvan tiba-tiba.
"Kamu juga," balas Naira.
"Tapi rasanya... kita masih cocok ya?"
"Karena kita tumbuh, bukan terpisah."
Mereka duduk di taman sekolah yang kini kosong karena libur. Di bangku kayu yang dulu saksi bisu awal keberanian mereka.
"Setelah ini, kamu mau apa?" tanya Alvan.
"Nulis. Terus nulis. Tapi mungkin kali ini bukan cuma untuk menyembuhkan diri, tapi juga buat orang lain."
"Gue pengen bantu anak-anak baru di sekolah gue. Yang ngerasa sendiri. Yang pernah kayak gue."
"Mungkin kita nggak harus selalu bersama dalam setiap hal…"
"Tapi kita bisa jalan berdampingan."
Naira mengeluarkan jurnal kecilnya. Di halaman belakangnya, ada satu tulisan yang baru ia buat kemarin malam:
Jika kamu membaca ini… berarti kita berhasil melewati jarak, waktu, dan ragu.Dan kita masih saling memilih.
Terima kasih telah bertahan. Terima kasih telah kembali.
Ini bukan akhir cerita kita. Ini awal dari halaman baru—tanpa perlu bersembunyi, tanpa perlu sunyi.
Sore itu, matahari pelan-pelan tenggelam.
Dan di tengah senyap yang dulu mereka kenal sebagai tempat sembunyi, kini berdiri dua jiwa yang tak lagi bersembunyi—tapi berdiri, saling menatap, dan… siap menulis kisah baru.
Bersama.
TAMAT