Cherreads

Chapter 10 - Bab 10: Aku Takut Jatuh Hati

Hari pameran tiba.

Langit cerah, tapi dada Naira terasa seperti dihimpit awan gelap. Aula telah diubah menjadi ruang pertunjukan yang dipenuhi kursi lipat dan papan nama kelompok. Semua orang mengenakan seragam paling rapi. Suasana tegang, tapi juga antusias.

Kelompok demi kelompok tampil. Musik. Tari. Drama. Presentasi poster.

Dan tibalah giliran kelompok mereka.

Tanpa layar.Tanpa visual digital.Hanya empat siswa berdiri di depan panggung, dengan mikrofon dan lampu sorot yang menyinari wajah mereka.

Suara musik latar lembut mulai mengalun.

Naira mengambil napas panjang, lalu melangkah maju. Tangannya gemetar, tapi matanya menatap lurus ke arah penonton.

Ia mulai bicara—membacakan puisinya.

"Aku pernah bersembunyi di balik diam.Karena aku kira... diam lebih aman dari luka."*

"Tapi diam juga menyesakkan.Ia membuatku lupa, bahwa aku juga ingin didengar."

Suaranya tidak keras, tapi jelas. Setiap kata keluar dengan ragu tapi tulus. Ia tidak sedang tampil—ia sedang membagi sebagian hatinya.

Setelahnya, Alvan melangkah maju.

"Mereka bilang aku pembuat masalah.Tapi tidak ada yang bertanya... masalah siapa yang aku bawa di pundakku."*

"Aku tidak ingin jadi pahlawan.Aku cuma ingin... dihargai sebagai manusia."

Tangan Naira mengepal di sisi rok seragamnya. Matanya berkaca-kaca. Ia tahu puisi itu bukan untuk penonton—tapi untuk dirinya. Untuk mereka.

Bagas dan Rani melanjutkan dengan narasi. Lalu keheningan.

Dan puncaknya: Alvan dan Naira berdiri berdampingan. Hanya mereka berdua. Saling menatap.

Alvan mengambil satu langkah maju, mengucap kalimat penutup:

"Kami tidak ingin jadi sempurna.""Kami hanya ingin tetap ada."

Lalu keduanya serempak berkata:

"Kami adalah warna yang tak terlihat. Tapi kami... nyata."

Lampu panggung mati. Hening menggantung.

Lalu… tepuk tangan.

Bukan sekadar formalitas, tapi panjang dan tulus.

Sore harinya, setelah semuanya selesai, Alvan dan Naira duduk di bangku taman belakang sekolah.

"Kamu luar biasa tadi."kata Alvan.

"Kamu juga."

Alvan menatapnya lama. Lalu bertanya:

"Boleh aku jujur sekarang?"

Naira mengangguk pelan.

"Gue takut, Na."

"Takut apa?"

"Takut jatuh hati sama seseorang yang mungkin nggak bakal bertahan di hidup gue."

Naira menatap tanah, berusaha menahan degup jantungnya.

"Aku juga takut. Tapi lebih takut lagi kalau aku nggak berani ngerasain apa-apa."

"Jadi... kamu juga ngerasain?"

Naira mengangguk, sangat pelan.

"Iya. Sejak lama. Tapi aku cuma bisa nulis, bukan ngomong."

Alvan tersenyum, menatap langit sore yang memerah.

"Berarti kita mulai aja... dari saling nulis dan saling dengerin."

"Sampai kita cukup berani untuk ngomong," sambung Naira.

Malam itu, Naira menulis lagi:

Jatuh hati itu bukan rencana.Tapi mungkin... memang harus terjadi.

Dan aku tak lagi takut.Karena kali ini, aku tidak jatuh sendirian.

More Chapters