Cherreads

Chapter 5 - Bab 5: Pertanyaan dari Hati

Sudah tiga hari sejak latihan di aula. Tapi efeknya masih terasa. Beberapa guru mulai memuji konsep proyek mereka, dan beberapa teman mulai membicarakan nama Naira… untuk pertama kalinya bukan karena keanehannya, tapi karena puisinya.

Namun, pujian datang bersamaan dengan bisik-bisik.

"Masa sih Alvan sama Naira?""Cewek pendiam itu pacaran sama anak badboy?""Gimik proyek doang kali."

Naira mendengarnya semua.

Dan meski ia sudah terbiasa menjadi bayangan di sekolah, sorotan semacam ini justru membuatnya ingin menghilang.

Di perpustakaan, tempat biasanya jadi ruang aman bagi Naira, suara dua siswi dari kelas sebelah terdengar cukup jelas:

"Kayaknya si Alvan tuh cuma iseng. Anak kayak Naira kan gampang banget dipermainkan.""Iya, sok-sokan puisi segala. Padahal dulu siapa yang tahu dia?"

Naira mengatup buku keras-keras. Dadanya panas. Tapi matanya tetap tenang. Seolah ia sudah dilatih untuk tidak bereaksi.

Namun saat ia keluar dari perpustakaan, Alvan sudah berdiri di depan pintu, bersandar pada dinding.

"Kamu denger mereka tadi, kan?"tanyanya, tanpa basa-basi.

Naira hanya mengangguk.

"Jangan masukin ke hati. Orang kayak mereka cuma bisa nilai dari luar."

"Aku tahu," jawab Naira pelan."Tapi tetap saja... menyakitkan."

Alvan mendekat. Matanya menatap dalam.

"Kamu tahu kenapa mereka omongin kamu? Karena kamu berubah. Karena kamu mulai terlihat. Dan itu bikin mereka nggak nyaman."

"Aku nggak minta dilihat."

"Tapi sekarang kamu dilihat. Dan itu bukan salah kamu. Itu karena kamu berani."

Hari itu, mereka duduk di taman belakang sekolah. Angin sore bertiup lembut. Daun-daun bergerak pelan, seolah ikut mendengar percakapan mereka.

"Van… boleh aku tanya sesuatu?"Naira memecah hening setelah beberapa menit.

"Apa?"

"Kenapa kamu begitu… sabar sama aku? Maksudku… kamu bisa kerja bareng siapa aja. Kenapa nggak cuek aja?"

Alvan tertawa kecil, nada suaranya jauh dari biasa.

"Karena kamu satu-satunya orang yang nggak nge-judge gue waktu pertama kali kita ngobrol."

"Aku cuma… nggak mau ikut-ikutan nilai orang dari cerita orang lain."

"Dan itu langka."

Alvan menoleh padanya, serius.

"Kamu ngajarin gue satu hal. Ternyata, tenang nggak sama dengan lemah. Diam bukan berarti takut. Dan tulisan kamu… bikin gue pengen berubah."

Malamnya, Naira kembali menulis:

Hari ini aku bertanya—bukan pada dunia, tapi pada hatiku sendiri.Kenapa aku merasa nyaman di dekat seseorang yang dulu paling ingin kuhindari?Mungkin karena dia tidak mencoba mengubahku.Dia hanya diam… dan tetap di sana.

More Chapters