Cherreads

Chapter 3 - Bab 3: Bising dan Diam yang Bertabrakan

Ruang kelas kosong kembali menjadi saksi pertemuan antara dua karakter yang bertolak belakang: Alvan yang bising dan spontan, Naira yang tenang dan teratur. Hari itu, mereka akhirnya memulai pengerjaan proyek secara serius.

"Jadi, lo udah tentuin konsep akhirnya?"tanya Alvan sambil menjatuhkan tubuhnya ke kursi dengan suara 'gedebuk' yang membuat Naira menegang seketika.

"Judulnya 'Warna yang Tak Terlihat'. Narasi dan puisi akan dibacakan dalam latar visual hitam putih, dengan suara asli anak-anak SMA yang merasa hidupnya nggak dianggap."

"Kelam banget, Na."

"Realistis, Van."

Alvan tertawa.

"Oke, I like it. Tapi kita butuh sesuatu yang bikin orang diem dan mikir. Nggak cuma nangis lalu lupa."

Naira mengangkat alis.

"Seperti?"

Alvan membuka buku catatan lusuh dari sakunya—ternyata ia memang mencatat, meski gayanya acak-acakan. Ia menunjuk satu sketsa kecil: gambar siluet remaja berdiri di tengah aula sekolah, dengan kata-kata "Aku Ada" melayang di latar belakang.

"Kita bisa tutup presentasi dengan satu anak berdiri di panggung, cuma bilang satu kalimat: 'Aku ada.' Terus layar mati."

Naira terdiam beberapa detik.

"Kamu serius?"

"Lo pikir gue becanda?"

"Kamu punya sisi yang... nggak banyak orang tahu."

Alvan mengedikkan bahu.

"Sama kayak kamu. Kita cuma beda cara nyembunyiinnya."

Diskusi berjalan panas. Mereka sering berdebat—tentang naskah, pengambilan gambar, warna latar belakang, bahkan jenis musik.

"Kamu terlalu kaku, Na.""Kamu terlalu ngawur, Van."

Tapi entah bagaimana, setiap pertengkaran justru membawa mereka lebih dekat.

Di sela-sela konflik, Naira mulai memperhatikan hal-hal kecil.

Seperti cara Alvan mengetuk meja saat berpikir.

Atau bagaimana ia selalu membagi dua permen terakhir di sakunya.

Dan juga... cara matanya jadi lembut saat ia diam.

Di rumah, Naira menulis puisi baru:

Kamu seperti suara gaduh di dalam kelas kosong,berisik, tapi membuat aku sadar...diamku terlalu lama tidak didengar.

Ia menutup buku hariannya, lalu menatap langit-langit kamar.

Apa aku mulai menyukai anak yang katanya paling tidak bisa dipercaya di sekolah ini?

Pertanyaan itu menakutkan. Tapi juga... membuat jantungnya berdebar.

Keesokan harinya, saat mereka berjalan berdua ke aula untuk mengecek peralatan presentasi, beberapa siswa mulai memerhatikan.

"Naira bareng Alvan?""Gila, mereka bisa ngobrol?""Cewek pendiam itu... bareng si troublemaker?"

Bisik-bisik itu seperti duri yang menusuk, tapi Naira pura-pura tidak mendengar.

Alvan meliriknya.

"Mereka emang suka nyinyir."

"Aku nggak peduli."

"Bohong. Mata kamu kelihatan marah."

Naira menoleh.

"Kalau kamu udah terbiasa dinilai, kamu akan belajar pura-pura nggak peduli."

Alvan mengangguk pelan.

"Kamu pikir aku begini karena nggak peduli?"

Mereka berhenti di tangga aula.

"Aku begini justru karena aku peduli. Tapi dunia nggak kasih ruang buat anak yang ngomong jujur."

Dan hari itu, Naira menyadari: mungkin suara Alvan memang bising. Tapi di balik kebisingannya, ada luka yang belum sempat sembuh.

Dan mungkin, diamnya selama ini bukan kekuatan… tapi perisai.

More Chapters