Senin pagi selalu jadi hari paling berat bagi sebagian besar murid SMA. Tapi bagi Naira, setiap hari terasa sama saja—rutin, tenang, dan senyap. Ia terbiasa jadi penonton dalam hiruk pikuk dunia sekolah. Ia mengamati, mencatat, dan menuliskan semua yang tidak ia ucapkan.
Tapi sejak hari pembagian kelompok proyek, ada satu hal yang mulai mengganggu ritme senyap itu: Alvan.
Hari itu, mereka dijadwalkan untuk rapat kelompok pertama di ruang kelas yang kosong selepas pulang sekolah. Intan sudah mengingatkan sejak pagi,
"Kamu harus tahan, ya. Alvan tuh… agak ngaco. Tapi kalau kamu bisa tembus temboknya, dia orangnya asik."
Naira hanya mengangguk pelan sambil membaca puisinya.
Pukul 15.20, hanya ada Naira yang datang tepat waktu. Ia duduk sendiri di kelas kosong, membuka buku catatan proyek, menulis poin-poin pembuka diskusi. Lima belas menit berlalu—tak ada siapa-siapa.
"Ternyata bener kata orang, kamu suka datang lebih awal."
Suara berat dan datar itu terdengar dari pintu. Alvan masuk dengan langkah santai, menyampirkan tasnya ke meja dan langsung duduk di depan Naira.
Ia mengenakan seragam yang tidak rapi. Dasi longgar, kemeja terlipat setengah lengan, dan rambut acak-acakan. Tapi mata Alvan tajam. Seolah ia memperhatikan semua, walau tampak tak peduli.
"Mana anggota yang lain?" tanyanya sambil bersandar malas.
"Entah. Tapi kalau mereka nggak datang, kita bisa mulai diskusi garis besarnya dulu."
Alvan tertawa singkat.
"Kamu kayak sekretaris OSIS."
"Aku hanya nggak suka buang waktu."
Alvan mengeluarkan permen dari sakunya, lalu menyodorkan satu ke Naira.
"Mau? Rasa kopi."
Naira menolak halus. Tapi hatinya sedikit terkejut. Ini… tidak seperti yang ia kira.
Diskusi mereka pun dimulai—jika bisa disebut diskusi. Naira dengan rapi menjabarkan ide tentang membuat presentasi visual berbasis puisi dan narasi kehidupan remaja. Tapi Alvan tampak tidak antusias.
"Kamu mau bikin proyek ini kayak karya sastra kelas puisi?"
"Kalau kamu punya ide yang lebih baik, silakan usul."
"Gimana kalau bikin video dokumenter? Cerita nyata tentang tekanan sekolah, ekspektasi orang tua, dan… ya, hidup remaja yang nggak semulus di brosur sekolah."
Naira diam. Bukan karena tak suka—tapi karena ide itu… sangat tepat. Dan jujur.
"Kamu… pernah ngalamin hal itu?"
Alvan menoleh, wajahnya datar.
"Siapa yang nggak? Cuma bedanya, ada yang berani ngomong. Ada juga yang nulis diam-diam."
Naira tercekat. Alvan tahu.
"Kamu baca puisiku?"
Alvan hanya tersenyum simpul.
"Yang kamu tinggalin di perpustakaan? Iya. Keren, sih. Sedikit sedih. Tapi jujur."
Naira mendadak ingin berdiri dan pergi. Tapi ia tetap duduk. Menatapnya.
"Jangan baca lagi tanpa izin."
"Tenang. Gue nggak bakal sebarin. Tapi kalau kamu kasih izin, gue mau bacain salah satu puisimu buat proyek ini."
Naira membeku.
"Kenapa kamu pengen bacain?"
"Karena suara kamu... lebih keras lewat tulisan. Dan gue pengen dunia tahu, suara itu ada."
Hari itu, mereka tidak selesai membuat kerangka proyek. Tapi satu hal yang lebih penting terjadi: dua orang dari dua dunia yang berbeda… akhirnya mulai benar-benar saling mendengar.
Dan saat Naira berjalan pulang sore itu, angin terasa lebih ringan.