Cherreads

Chapter 9 - Bab 9: Luka Lama dan Cerita yang Dipendam

Tiga hari sebelum pameran.

Semua kelompok sibuk menyempurnakan karya mereka. Aula dipenuhi alat musik, properti, dan suara-suara panik. Tapi di antara semua itu, kelompok Naira dan Alvan tetap menjadi pusat perhatian.

Bukan karena mereka paling heboh.

Tapi karena mereka berbeda—diam, tapi intens. Karya mereka bukan tentang pertunjukan. Tapi tentang kejujuran.

Pagi itu, ketika Naira datang ke ruang OSIS untuk mencetak naskah puisi final, ia mendapati wajah panik Bagas.

"Kita punya masalah besar."

"Masalah apa?"

Bagas menunjukkan flashdisk di tangannya.

"File utama video presentasi kita... rusak. Gak bisa dibuka. Bahkan file cadangannya ikut error."

Naira merasakan darahnya mengalir dingin.

"Gimana bisa?"

"Kayaknya komputer di ruang edit kena virus. Udah gue coba buka di laptop lain, tetep nggak bisa."

Mereka langsung menghubungi Alvan, yang sedang dalam perjalanan.

Satu jam kemudian, mereka berkumpul di ruang multimedia.

Alvan berdiri diam di depan layar, tangannya mengepal.

"Jadi semua visual... hilang?"

"Iya," jawab Bagas.

"Tapi audionya masih ada," tambah Rani. "Termasuk narasi sama puisi."

Suasana hening.

Lalu Naira berkata,

"Kita bisa ubah konsep. Kita bisa bikin presentasi live, tanpa layar. Kita tetap pakai narasi dan puisi, tapi tampilkan ekspresi asli dari kita semua."

Rani mengerutkan dahi.

"Kamu yakin?"

"Apa pun lebih baik daripada batal tampil."

Alvan menatap Naira lama, lalu tersenyum miring.

"Kamu beneran berani tampil di depan semua orang?"

"Kalau itu satu-satunya cara menyampaikan suara yang udah kita tulis, aku akan coba."

Latihan dadakan dimulai sore itu juga. Tanpa layar, tanpa video, hanya narasi dan aktor.

Tapi justru dari kekacauan itu, mereka mulai tampil dengan jujur.

Alvan, yang biasanya paling keras, hari itu jadi paling tenang.

Saat latihan selesai, Naira duduk di pinggir panggung. Ia tahu Alvan akan menghampirinya. Dan benar saja, langkah kaki itu datang dari belakang.

"Kamu tahu, gue pernah gagal di proyek kayak gini."

"Kapan?"

"Tahun lalu. Waktu lomba teater kelas. Gue satu tim sama kakak kelas. Semuanya berantakan. Dan mereka salahin gue."

Naira menoleh.

"Itu sebabnya kamu sering bolos latihan waktu awal-awal?"

"Gue takut. Bukan gagal. Tapi takut disalahin lagi."

Naira menggenggam tangannya pelan.

"Gue bukan mereka. Dan kamu nggak sendiri."

Malam itu, Naira menulis di buku hariannya:

Kadang, hal terbaik datang dari kekacauan.Dan orang yang paling kamu ragukan… bisa jadi orang yang paling kamu percaya.

Aku tak tahu besok akan seperti apa. Tapi aku tahu satu hal:Kami tidak akan diam lagi.

More Chapters