Pelatuk senjata kejut di tangan Bu Sari mengarah tepat ke dada Alira. Mata wanita itu tajam dan tanpa ragu, seperti seseorang yang sudah terlalu lama hidup di sisi gelap dunia dan tak lagi memiliki ruang untuk rasa iba.
Alira mundur satu langkah. Tangannya masih menggenggam pipa tua yang dingin dan berkarat.
"Bagaimana kau tahu aku di sini?" tanya Alira dengan suara setenang mungkin, meski dadanya terasa sesak oleh ketegangan.
Bu Sari hanya tersenyum kecil. "Kau pikir Revan satu-satunya yang memantaumu? Kau memang pintar, Alira. Tapi setiap orang yang menyentuh warisan ayahmu, akan berakhir sama."
"Jadi kau memang bagian dari Arkana… sejak awal."
"Lebih dari itu. Aku salah satu perancang utama proyek Bayangan Alpha."
Alira membeku. Ia selalu mengira Bu Sari hanyalah perpanjangan tangan korporat Raventh. Tapi kini, semuanya semakin jelas.
"Kau membunuh ayahku?"
"Tidak secara langsung. Tapi aku yang menandatangani dokumen yang membuat nyawanya tak punya harga."
Alira menguatkan genggaman pada pipa. "Kalau begitu, habisi aku juga sekarang. Karena aku tidak akan berhenti."
Namun sebelum Bu Sari sempat menarik pelatuk, sebuah suara keras menggema dari atas rumah.
"SARI!"
Satu tembakan peringatan terdengar. Atap kayu bergetar, dan dari bayangan, muncullah Revan, wajahnya tajam, pistol di tangan kanan.
"Turunkan senjatamu sekarang," ucapnya dingin.
Bu Sari menoleh cepat, menyadari dirinya terkepung.
"Ah… tentu saja kau akan datang," katanya sinis. "Masih jadi anjing setia Reyan, Revan?"
Revan melangkah masuk ke ruang bawah tanah, pelan tapi mengancam. "Aku datang bukan untuk Reyan. Aku datang karena kau menyentuh dia."
Tatapan Revan berpindah ke Alira dan untuk sesaat, di balik ketegangan itu, ada sesuatu yang lain: kekhawatiran yang tulus. Alira bisa melihatnya. Dan itu membuat jantungnya berdebar dengan rasa yang tak seharusnya ada di tengah medan perang.
Pertarungan singkat pun terjadi.
Bu Sari mencoba menembak, tapi Revan lebih cepat. Ia menendang senjata itu sebelum menyentuh pelatuk. Pipa di tangan Alira digunakan untuk memukul bahu Bu Sari dari belakang. Mereka berdua akhirnya berhasil melumpuhkannya.
Bu Sari jatuh tak sadarkan diri.
Alira terduduk di lantai, terengah. "Aku… aku hampir membunuh seseorang."
Revan menatapnya dalam. "Selamat datang di dunia kami. Di sini, tidak ada yang bersih."
Beberapa menit kemudian, di luar rumah tua itu, keduanya duduk bersisian di tangga depan. Matahari sore mulai turun, langit menciptakan gradasi jingga yang menenangkan ironis di tengah semua kekacauan.
Alira memeluk lututnya. "Aku tak tahu harus bagaimana lagi, Revan. Semakin dalam aku menggali, semakin aku merasa... semuanya palsu. Siapa yang benar, siapa yang salah… semua kabur."
Revan menatap lurus ke depan. "Kebenaran bukan hitam putih, Alira. Ia abu-abu. Terkadang, kita harus menjadi abu-abu untuk melawan yang lebih gelap."
"Dan kau? Kau siapa sebenarnya?" Alira menoleh menatapnya. "Kau bilang dulu mencintai ibuku. Tapi kenapa aku merasa kau juga…"
"Jatuh padamu?" potong Revan pelan.
Alira terdiam. Matanya membulat, dan bibirnya terkatup.
Revan menghela napas. "Aku berusaha menolak perasaan ini sejak pertama kali bertemu. Karena aku tahu… aku tidak pantas. Aku bukan pahlawan, Alira. Aku adalah bagian dari sistem yang membunuh orang tuamu."
"Tapi kau menyelamatkanku."
"Karena aku tak sanggup kehilangan seseorang lagi."
Hening. Tak ada yang bicara selama beberapa menit. Angin mengalir pelan membawa aroma pinus dari bukit sebelah.
Lalu, tanpa peringatan, Alira bersandar ke bahu Revan.
"Kalau ini salah," ucapnya pelan, "biarkan salah ini menyelamatkanku malam ini."
Revan tidak menjawab. Tapi ia tidak menjauh. Ia membiarkan gadis itu bersandar, untuk pertama kalinya tanpa perlu menjadi kuat atau waras. Untuk pertama kalinya… mereka membiarkan rasa tumbuh, meski ditanam di tanah penuh darah.
Bab 12 berakhir dengan Revan menatap langit senja, dan Alira yang tertidur sejenak di bahunya dua jiwa yang terikat oleh dendam, luka, dan cinta yang tak seharusnya tumbuh… tapi kini tak bisa dihentikan.