Darah mengalir deras dari bahu Revan, membasahi lantai beton ruang bawah tanah yang dingin. Alira berlutut di sisinya, mencoba menekan luka dengan tangan yang gemetar. Setiap detik terasa seperti akhir dunia.
"Bertahan, Revan. Tolong…" bisiknya, suara bergetar di antara isak tertahan. "Kau tidak boleh mati. Belum sekarang…"
Revan membuka matanya yang mulai sayu. "Aku pernah mengira… cinta itu kelemahan. Tapi sekarang aku tahu, cinta… adalah satu-satunya alasan kenapa aku bertahan."
Air mata mengalir dari mata Alira. Tapi ia tahu waktu mereka tidak banyak.
Di kejauhan, suara langkah kaki terdengar. Banyak. Teratur. Bukan hanya satu orang. Tim bersenjata.
Alira tahu, orang-orang Arkana sudah menemukan mereka. Atau lebih tepatnya… telah menunggu saat yang tepat untuk menyerang.
Dia mengangkat pistol Revan yang tergeletak di sampingnya. Tangannya bergetar, tapi matanya tegas.
"Aku tidak akan menyerahkan semua ini. Tidak hari ini. Tidak sekarang."
Ia menarik Revan ke balik pilar besi besar. Mencoba mengatur napas. Di dalam sakunya, microfilm dan flashdisk masih utuh. Tapi satu kesalahan, dan semua perjuangan selama ini akan sia-sia.
Dari balik pintu besi utama, suara pengeras terdengar:
"Alira Putri. Kami tahu kau ada di dalam. Serahkan bukti dan keluar dengan tenang. Atau kami akan mengakhiri ini sekarang."
Alira membalas dengan satu tembakan ke atas. Denting logam memantul ke seluruh ruangan.
"Kalau kalian mengakhiri ini sekarang, kalian tidak akan dapatkan satu pun bukti yang bisa kalian tutupi!"
Tiba-tiba, dari speaker internal Revan di saku jasnya, terdengar suara lain datar dan familiar.
"Alira. Ini Bu Sari. Jangan bodoh. Revan hanya menggunakanmu untuk menghancurkan Arkana. Apa kau pikir dia benar-benar peduli? Dia dalang proyek ini sejak awal."
Alira terdiam sejenak.
Ia menatap wajah Revan, penuh luka dan darah. Tapi bukan karena ucapannya ia ragu.
Melainkan karena keraguan itu sudah ada di dalam dirinya sejak lama.
Revan membuka mata perlahan. "Jika kau ingin menembakku… sekarang saatnya. Kalau itu bisa menyelamatkanmu."
Alira menarik napas panjang. Matanya berembun.
"Kenapa… kau tidak pernah memilih satu sisi, Revan? Kau berdiri di tengah, antara kejahatan dan kebenaran. Aku tidak tahu siapa dirimu sebenarnya."
Revan tersenyum kecil. "Karena dunia tak pernah memberi kita hak istimewa untuk memilih sisi, Alira. Kita hanya bisa bertahan di tengah badai, sambil berharap… seseorang akan melihat kebenaran di balik semuanya."
Di luar, suara langkah kaki semakin dekat. Alira tahu, waktunya hampir habis.
Dan sekarang, dia harus memilih:
Dendam… atau cinta.Membalas semua kebohongan yang membunuh orang tuanya… atau menyelamatkan pria yang mungkin hanya mungkin menjadi satu-satunya alasan kenapa ia masih hidup sampai hari ini.
Tangannya gemetar saat mengangkat pistol.
Matanya menatap Revan.
Tapi yang ia lakukan berikutnya… bukan menembak.
Melainkan melempar pistol itu ke samping, lalu mengambil liontin ibunya dari leher, membuka microchip di dalamnya, dan melemparkannya ke arah pilar logam yang terbuka kabel-kabel listriknya.
ZZZZTTTTTT!!!Microchip itu meledak kecil, mengeluarkan semburan api yang membakar sebagian kabel menghancurkan satu-satunya salinan data paling sensitif dari proyek Bayangan Alpha.
Dari speaker, suara panik terdengar:
"Koneksi hilang! Sistem cadangan down!"
Alira menatap Revan yang terguncang. "Aku tidak membunuhmu, Revan. Tapi aku juga tidak memilihmu. Aku memilih menghancurkan semua ini. Dan memulai dari awal."
Bab 16 berakhir dengan Alira menyeret tubuh Revan keluar melalui terowongan darurat rahasia yang ditunjukkan dalam peta. Sementara di belakang mereka, fasilitas Arkana Lama perlahan mulai terbakar dari dalam menyisakan abu dari segala kebohongan yang pernah berdiri megah sebagai 'proyek penyelamatan dunia'.
Dan di luar sana… perang belum berakhir. Tapi Alira sudah memilih jalannya sendiri.