Pagi itu, langit tampak terang, tapi bagi Alira, sinar matahari tidak membawa kehangatan hanya sorotan yang terlalu tajam ke hidup yang kini dipenuhi retakan. Setelah malam yang nyaris merenggut nyawanya di pelabuhan, ia sadar: ini bukan lagi sekadar pencarian pembunuh orang tuanya. Ini perang yang lebih dalam.
Dan seperti pesan terakhir ayahnya dalam surat itu, semuanya berakar di satu tempat: rumah warisan nenek sebuah rumah tua yang sudah lama tak ia kunjungi, terletak di pinggiran kota, di desa kecil bernama Cipanggeran. Rumah itu adalah satu-satunya hal yang tersisa dari masa lalunya yang tak ternoda.
Revan menawarkan diri untuk ikut, tapi Alira menolak.
"Aku harus melakukannya sendiri," ujarnya sambil memasukkan liontin dan dua flashdisk ke dalam saku dalam jaketnya.
Revan tidak memaksa. Ia hanya berkata, "Jika dalam waktu empat jam aku tidak mendengar kabar darimu, aku akan datang."
Dan untuk pertama kalinya, Alira berharap pria itu tidak perlu menepati janjinya.
Perjalanan menuju Cipanggeran memakan waktu hampir dua jam. Alira menyetir sendiri. Jalanan bergelombang dan penuh tikungan tajam, dikelilingi hutan pinus dan suara alam yang lebih jujur daripada semua manusia yang ia temui di kota.
Saat sampai di depan rumah tua itu, jantungnya berdebar pelan. Rumahnya berdinding kayu tua, berwarna cokelat kelam, nyaris tertutup lumut dan dedaunan. Sebagian genteng runtuh, tapi jendela-jendela masih berdiri utuh.
Ia membuka kunci pintu yang sudah berkarat.
Srakkk… Pintu kayu itu berderit panjang, seperti menyambut pemilik yang telah lama pergi.
Udara di dalamnya pengap, penuh debu dan aroma masa lalu.
Alira menyusuri setiap sudut rumah dengan langkah pelan. Ia menyentuh kusen pintu, melihat meja tua tempat ia dulu sering bermain dengan ibunya. Foto-foto lama di dinding sudah memudar. Tapi ada satu foto yang membuatnya terpaku.
Foto ayahnya, mengenakan setelan jas hitam, berdiri di depan gedung tinggi bertuliskan: "ARKANA RESEARCH INSTITUTE"
Di balik bingkai foto itu, ada potongan kertas kecil yang ditempel rapi.
"Lantai bawah tanah – papan lantai ke-4 dari pojok kanan – 'kunci' di bawahnya."
Alira langsung bergerak ke arah ruang bawah tanah yang tersembunyi di balik dapur. Ia menarik karpet debu yang menutupi lantai kayu. Hitungan dimulai: satu, dua, tiga, empat… papan lantai keempat dari pojok.
Dengan pisau kecil, ia congkel papan itu. Di bawahnya, tersembunyi kotak logam kecil yang terkunci. Ia mengeluarkan liontin bunga teratai milik ibunya, memeriksa bagian belakangnya dan menemukan lubang kecil yang pas untuk dimasukkan ke kunci.
Klik.
Kotak terbuka. Isinya:
Sebuah buku catatan tangan ayahnya
Satu microfilm
Dan satu amplop hitam bertuliskan: "REKAMAN ARKANA – RUANG EKSEKUSI #3"
Dengan tangan bergetar, Alira membuka catatan tangan itu. Di halaman pertama tertulis:
"Hari ini, aku kehilangan dua rekan. Keduanya mencoba keluar dan mengundurkan diri dari Arkana. Tapi mereka tidak pernah sampai di rumah. Aku tahu aku selanjutnya. Tapi aku tidak bisa diam. Aku sudah membuat salinan semua data dan menyebarnya ke beberapa tempat—termasuk pada Revan. Tapi jika Revan memilih diam… maka putriku harus tahu yang sebenarnya."
Lembar demi lembar ditulis dengan tinta hitam dan coretan tergesa. Alira membaca:
"Revan tahu terlalu banyak. Tapi dia juga terikat janji dengan seseorang di dalam Arkana. Ia bukan musuh… tapi dia mungkin tidak bisa memilih pihak. Alira, jika kau membaca ini, satu-satunya jalan keluar adalah melalui pintu paling dalam: Gedung Arkana Lama, ruang bawah tanah. Di sanalah semua dimulai, dan akan berakhir."
Alira duduk terpaku. Napasnya tercekat.
Gedung Arkana Lama yang katanya sudah ditutup karena kebakaran sepuluh tahun lalu. Tapi dalam catatan ini… disebut sebagai pusat semua proyek eksperimen Bayangan Alpha.
Microfilm itu mungkin berisi bukti visual, dan amplop hitam itu… bisa saja rekaman eksekusi, seperti yang tertulis.
Tapi saat ia hendak menyimpan semuanya kembali ke tas…
KRRAK!
Suara langkah kaki di atas. Lantai kayu berderit.
Alira menahan napas. Ia tidak memberitahu siapa pun bahwa ia akan ke sini.
Ia mematikan lampu, meraih pipa tua dari dinding, dan bersembunyi di balik rak tua.
Langkah itu makin dekat. Seseorang turun perlahan.
Lalu suara itu terdengar…
"Kau benar-benar cerdas, Alira. Terlalu cerdas, sayangnya."
Bu Sari.
Bab 11 ditutup saat Bu Sari berdiri di ambang pintu ruang bawah tanah, senjata kejut di tangannya, dan Alira yang menggenggam pipa tua dengan tubuh gemetar… menyadari bahwa pencarian kebenaran akan menuntut lebih dari sekadar keberanian akan menuntut nyawanya.