Langit pagi tampak kelabu. Kabut tipis menggantung di pepohonan sekitar rumah tua Cipanggeran, seolah menyembunyikan sesuatu yang hendak bangkit dari masa lalu.
Di dalam kamar, Alira belum tidur sejak semalam. Wajahnya lelah, tapi matanya tetap menatap tajam ke layar laptop di depannya. Ia baru saja membuka dokumen yang terkunci dalam flashdisk Revan file yang berisi data mentah, foto-foto, rekaman suara, dan sebuah peta digital dengan satu titik merah yang berkedip.
Titik itu mengarah ke sebuah fasilitas tua yang dulu dikenal sebagai Pusat Data Arkana Lama terletak di bawah sebuah gudang farmasi kosong di kawasan industri Menteng Timur.
Tapi bukan peta itu yang membuatnya terpaku.
Melainkan satu nama yang muncul berulang kali dalam laporan pengawasan internal Arkana:
Laras Rahayu – Koordinator Proyek "SILON 7" – Status: aktif hingga 2008.
Alira membeku. Itu nama ibunya.
"Ibu…?" bisiknya tak percaya.
Ia membuka kembali catatan harian ayahnya dari kotak rahasia. Ia membaca ulang, memaksa matanya untuk menangkap setiap makna tersembunyi. Di halaman ke-39, ia menemukan potongan kalimat yang selama ini luput dari perhatian:
"Laras tahu, tapi ia memilih diam. Demi Alira. Demi kelangsungan proyek, katanya. Tapi aku tak bisa memaafkan itu. Bagiku, tidak ada tujuan yang pantas menelan manusia sebagai korban."
Dunia Alira runtuh perlahan.
"Selama ini… Ibu tahu?"
Seluruh fondasi keyakinan yang ia bangun selama ini ambruk. Ibunya—wanita hangat yang ia anggap korban dari kekejaman Arkana—ternyata… bagian dari sistem?
Dengan cepat, Alira mencocokkan data waktu. Proyek "SILON 7" adalah sub-divisi dari Bayangan Alpha, khusus menangani manipulasi genetik terhadap anak-anak yatim piatu eksperimen jangka panjang dengan hasil tragis.
Ia menggulir ke bawah.
Di antara daftar subjek eksperimen yang selamat, tercatat satu nama yang membuat darahnya membeku:
Kode: A-07 – Nama asli: Alira Rahayu Adityasena – Status: Tidak sadar sebagai subjek.
Tubuh Alira gemetar. Ia meraih kursi agar tidak jatuh.
"Aku… aku bagian dari eksperimen itu?"
Air matanya menetes. Bukan karena lemah. Tapi karena tubuhnya tak bisa lagi menyangkal: hidup yang ia jalani bukan miliknya. Ia adalah hasil dari rahasia, kebohongan, dan percobaan.
Lalu terdengar suara notifikasi dari laptop.
Satu file video muncul rekaman yang baru bisa dibuka setelah GPS mendeteksi keberadaannya di rumah ini.
Ia klik file itu. Wajah seseorang muncul di layar ayahnya.
"Alira… jika kau melihat ini, itu berarti semua lapisan kebohongan telah terkelupas. Maaf karena kami menciptakanmu dalam dunia yang tak kau pilih. Tapi kau bukan hasil eksperimen. Kau adalah harapan terakhir. Ibumu menyerahkan hidupnya agar kau tetap dianggap subjek. Tapi kenyataannya, kau adalah penghubung antara darah bersih dan kotor yang bisa membongkar semuanya."
Ayahnya menatap kamera dengan mata sendu.
"Revan tahu ini. Itulah kenapa ia selalu menjagamu, bahkan saat semua menyuruhnya untuk memusnahkan bukti terakhir yaitu dirimu."
"Percayalah padanya. Tapi jangan ikuti jalannya. Temukan jalanmu sendiri."
Layar gelap.
Alira tak bisa berkata-kata. Dunia tak lagi terbelah antara baik dan jahat semua sudah bercampur. Ibunya bukan korban… tapi juga bukan penjahat. Revan bukan pahlawan… tapi bukan musuh.
Dan dirinya? Ia adalah kebenaran yang tak diinginkan siapa pun, namun tak bisa dihapus.
Malam itu, ia pergi meninggalkan rumah Cipanggeran.
Dengan dokumen, microfilm, dan catatan lengkap, ia melangkah menuju tempat yang ditandai di peta: fasilitas bawah tanah Arkana Lama.
Ia tahu… tempat itu bukan hanya menyimpan bukti. Tapi juga menyimpan jawaban terakhir tentang siapa dirinya sebenarnya, dan kenapa semua orang berusaha menghentikannya.
Bab 14 berakhir dengan Alira berdiri di depan pagar besi berkarat bertuliskan "TERLARANG MASUK AREA DITUTUP PERMANEN" dan bisikannya pada dirinya sendiri:
"Jika aku memang diciptakan untuk menjadi senjata… maka biar aku jadi senjata yang menghancurkan kalian semua."