Langit mulai cerah ketika perahu kecil itu merapat di dermaga tua di daerah pesisir selatan kota. Revan turun lebih dulu, lalu membantunya dengan sigap, seolah mereka bukan dua orang yang hidup dalam ketegangan konspirasi dan dendam.
"Ke mana kita?" tanya Alira, tubuhnya masih menggigil meski matahari sudah terbit.
Revan tak menjawab. Ia hanya memberi isyarat agar Alira ikut. Mereka melewati gang sempit, lorong pasar ikan yang masih kosong, hingga sampai di sebuah rumah panggung tua yang tersembunyi di balik deretan kontainer besar.
Rumah itu terlihat usang dari luar, tapi di dalamnya…Ada rak-rak penuh berkas, peta strategis, layar monitor dengan kamera pengawas, serta dinding yang penuh dengan koneksi data, seperti papan investigasi rahasia.
Tempat itu seperti markas milik agen rahasia dan kini, di situlah Alira berada.
"Duduklah," ujar Revan singkat sambil menuangkan kopi hitam ke dalam dua gelas kaleng.
Alira duduk di kursi kayu yang sudah reot, tapi tak bisa memalingkan pandangan dari dinding penuh foto dan tali merah itu. Ia melihat potret-potret lama: ayahnya… Revan muda… Bu Sari… dan bahkan… foto dirinya sendiri, saat masih kecil.
"Kenapa ada foto aku di sini?"
Revan menatapnya sejenak, lalu menghela napas. "Karena aku mengenalmu bahkan sebelum kau lahir."
Alira mengernyit. "Apa maksudmu?"
Revan berdiri, mengambil satu map dari rak paling atas. Ia meletakkannya di meja di depan Alira.
Map itu berjudul:
"SUBJEK KELUARGA RAHAYU – KONFLIK INTERNAL 2008"
Alira membuka halaman pertama. Matanya langsung membelalak. Ada akta kelahiran dirinya… tapi bukan atas nama "Alira Putri." Di situ tertulis:
Nama: Alira Rahayu Adityasena
"Rahayu…? Itu nama belakang ibu."
Revan mengangguk pelan. "Dan Adityasena adalah nama keluarga ayahmu. Tapi mereka mengganti identitasmu setelah tragedi itu."
Alira menelan ludah. "Tragedi apa?"
Revan duduk di depannya, tatapannya seperti seseorang yang mengangkat kembali beban lama. "Tahun 2008, ayahmu nyaris dibunuh. Tapi bukan oleh Arkana. Oleh… rekan kerjanya sendiri."
"Siapa?"
"Orang yang kini menjadi direktur keuangan Arkana. Dan... orang yang pernah juga menyukai ibumu."
Alira tersentak. "Apa hubungan semua ini denganku?"
Revan menatap mata Alira dalam-dalam. "Karena kau adalah bagian dari rencana besar mereka. Mereka ingin memanfaatkan keturunan keluarga Rahayu sebagai simbol, wajah 'bersih' untuk menutupi semua proyek kotor. Kau… ditargetkan sejak kecil."
"Tidak… ini tidak mungkin..."
Alira memundurkan kursi, wajahnya pucat. Tapi Revan tak membiarkannya larut dalam penolakan. Ia mengambil sebuah kotak kayu kecil dan meletakkannya di depan Alira.
"Ini milik ibumu. Aku simpan sejak malam saat rumah kalian diserang."
Dengan tangan gemetar, Alira membuka kotak itu. Di dalamnya, ada sebuah liontin berbentuk bunga teratai liontin yang dulu selalu dipakai ibunya, tapi menghilang saat kecelakaan terjadi.
Ia membukanya… dan di dalamnya ada sebuah microchip kecil.
"Data ini… isinya lengkap. Nama-nama petinggi Arkana, akun gelap luar negeri, catatan medis proyek Bayangan Alpha. Dan, yang paling penting… rekaman pengakuan dari ayahmu."
Air mata Alira mulai mengalir tanpa bisa ditahan. Semua ini terlalu banyak. Terlalu berat.
"Kenapa baru sekarang kau beritahu aku, Revan?" suaranya pelan, penuh luka.
Revan berdiri dan memunggunginya. "Karena aku pengecut. Karena aku pernah memilih diam, saat aku bisa melawan. Aku kehilangan orang-orang yang aku sayangi… termasuk ibumu."
Alira menegang. "Kau… mencintai ibuku?"
Revan mengangguk perlahan, tanpa menoleh. "Tapi dia memilih ayahmu. Dan aku… memilih pergi."
Keheningan panjang memenuhi ruangan. Hanya bunyi angin dari celah kayu dan detik jam tua yang terdengar.
Alira akhirnya berkata, "Semua orang yang kucintai menyimpan rahasia dariku. Tapi yang paling menyakitkan… aku tidak bisa membenci kalian sepenuhnya."
Revan menoleh, menatap Alira kali ini dengan mata yang bukan dingin, tapi jujur. "Karena kau lebih kuat dari kami semua."
Bab 10 berakhir dengan Alira yang memegang liontin ibunya, berdiri di depan dinding peta konspirasi besar, dan akhirnya berkata:
"Jika aku memang target mereka sejak kecil, maka biar aku yang menyelesaikannya. Aku akan jadi mimpi buruk terakhir mereka."