Pukul 01.47 dini hari.Langit kota diselimuti kabut tipis. Udara di sekitar pelabuhan tua berbau asin dan besi berkarat. Gelap. Sunyi. Hanya suara deburan air pelan dan dentingan rantai kapal tua yang menambah kesan mencekam.
Alira berdiri di antara tumpukan kontainer usang, mengenakan hoodie hitam, menyembunyikan wajahnya. Di balik tas selempangnya, tersembunyi dua flashdisk dan setumpuk fotokopi dokumen Bayangan Alpha.
Ia tahu ini bisa jadi perangkap. Tapi jika ia tidak datang, mungkin tak akan pernah tahu siapa musuh yang sebenarnya.
Ponselnya bergetar. Satu pesan masuk:
"Dekat gudang barat. Masuk sendiri. Jangan coba-coba membawa siapa pun."
Jantung Alira berdetak kencang. Ia melangkah hati-hati, sepatu ketsnya menginjak genangan air asin yang menetes dari kapal rusak. Gudang barat itu gelap. Lampu di atapnya hanya berkedip samar.
Saat ia masuk, pintu otomatis tertutup di belakangnya.
"Bagus, kau datang."Suara pria. Bukan yang ia temui sebelumnya.
Tiga pria bertopeng muncul dari balik peti kayu besar. Salah satunya membawa pipa besi, yang lain menodongkan senjata api kecil.
"Mana buktinya?"
Alira menahan ketakutan. "Aku tidak membawanya. Aku hanya ingin tahu… siapa yang membunuh ayahku."
Pria bertopeng tertawa. "Yang membunuh ayahmu? Semua orang di Arkana punya andil, Nona. Termasuk pria yang kau percayai sekarang."
"Revan?"
"Dia sama kotornya. Jangan terlalu bodoh."
Alira menggenggam erat tasnya. "Kalian pikir aku akan menyerahkan semuanya begitu saja?"
Pria itu melangkah mendekat dan mengayunkan tangannya ke wajah Alira PLAK! Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Ia terjatuh, tasnya terbuka. Flashdisknya terlempar ke lantai.
Pria bertopeng menyeringai dan membungkuk untuk mengambilnya.
Tapi tiba-tiba BOOM!
Suara ledakan kecil terdengar dari luar gudang, diikuti cahaya merah menyala dari jendela atas. Tiga pria itu refleks menoleh, si pemegang senjata langsung bersiap.
Satu detik kemudian, jendela gudang pecah sebuah siluet hitam melompat masuk dari atas! Gerakannya cepat, presisi, dan penuh kekuatan.
Revan.
Dalam hitungan detik, pria pertama dipukul keras di tengkuk. Senjatanya jatuh. Pria kedua ditendang mundur dan menghantam rak besi tua. Yang ketiga, si pemegang pipa, mencoba menyerang, tapi Revan menghindar gesit lalu memelintir lengannya hingga terdengar bunyi retak.
Alira terduduk di lantai, ternganga. Revan berdiri di depannya, tubuhnya tegap, wajahnya basah oleh keringat dan sedikit darah musuh.
"Aku bilang padamu, jangan percaya siapa pun," ucapnya sambil meraih tas dan flashdisk yang berserakan.
"Kau... bagaimana kau tahu aku di sini?"
"Karena aku tidak pernah tidak mengawasimu. Kau pikir mereka bisa mendekatimu tanpa aku tahu?"
Alira berdiri perlahan. "Kenapa kau menolongku?"
Revan menatapnya lama. "Karena kalau kau mati, semua perjuangan ayahmu juga ikut mati. Dan karena... aku berhutang pada ayahmu."
Polisi tidak pernah datang malam itu. Revan membawa Alira keluar lewat perahu cepat kecil yang diparkir di ujung dermaga. Mereka menghilang ke tengah kabut laut sebelum pagi menjelang.
Di atas perahu, dalam keheningan, Alira akhirnya menangis. Seluruh tubuhnya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena takut dan lega. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak tahu harus mempercayai siapa. Tapi ia tahu satu hal…
Malam ini, Revan menyelamatkan nyawanya.
Bab 9 berakhir saat Alira memandang siluet Revan yang mengemudi perahu, disinari cahaya remang dari bulan. Ia sadar pria ini bisa saja adalah racun… tapi mungkin juga satu-satunya penawarnya.