Cherreads

Chapter 14 - Bab 14: Sisi Gelap dari Seragam Putih Abu-abu

Pagi itu, ruang guru ramai. Tapi yang jadi pusat perhatian bukanlah nilai atau tugas—melainkan kabar bahwa proyek "Warna yang Tak Terlihat" masuk nominasi untuk dipresentasikan di tingkat provinsi dalam Festival Literasi Remaja.

Sebuah pencapaian yang seharusnya membanggakan.

Tapi tidak semua orang menganggapnya begitu.

"Proyek dengan narasi seberat itu? Disorot ke provinsi?"ucap salah satu guru secara setengah berbisik—tapi cukup nyaring untuk terdengar oleh Rani.

"Apalagi isi puisinya. Suram. Gelap. Bukan citra positif untuk sekolah."

"Dan yang bacain siapa? Anak yang langganan SP sama si pendiam kutu buku?"

Rani menceritakan semuanya saat mereka berkumpul di perpustakaan sore itu.

"Kita sedang jadi sorotan, tapi bukan yang positif."

Bagas menimpali,

"Gue juga denger, Pak Seno bilang ke kepala sekolah buat pertimbangin ulang pengajuan ke provinsi."

Alvan menyender ke kursi, menatap langit-langit.

"Gue tau ini bakal terjadi."

Naira diam. Tapi wajahnya menunjukkan rasa marah yang tertahan.

"Kita nggak salah," katanya akhirnya."Kita cuma ngomongin apa yang selama ini disimpan semua orang."

"Tapi nggak semua orang suka kebenaran."Alvan menyambung."Apalagi kalau kebenaran itu ngusik zona nyaman mereka."

Dua hari kemudian, mereka mendapat surat panggilan untuk presentasi ulang di hadapan dewan guru.

Alvan datang mengenakan seragam rapi. Begitu pula Naira.

Mereka duduk di aula kecil yang biasa digunakan untuk sidang OSIS—kali ini bukan sebagai pelanggar, tapi sebagai pembicara yang harus membela karyanya sendiri.

Kepala sekolah membuka pembicaraan:

"Kami mengapresiasi kreativitas kalian. Tapi isi presentasi kalian cukup... sensitif."

"Sensitif tidak sama dengan salah," jawab Naira, dengan suara pelan tapi jelas.

"Bisa dijelaskan, kenapa memilih tema 'remaja tak terlihat'? Dan kenapa narasinya begitu gelap?"

Alvan menatap mereka satu per satu.

"Karena kami sendiri pernah merasa tidak terlihat. Dan kami tahu banyak yang juga merasakannya. Tapi nggak pernah punya tempat buat cerita."

"Kami tidak ingin menjelekkan sekolah," tambah Naira."Kami hanya ingin jujur. Karena kejujuran itu juga bagian dari pendidikan."

Suasana hening.

Pak Seno akhirnya angkat bicara.

"Kalian berani. Dan itu tidak salah. Tapi keberanian juga harus disertai tanggung jawab."

"Kami siap bertanggung jawab," kata Alvan.

Kepala sekolah memandangi mereka lama, lalu menghela napas.

"Baik. Kami akan tetap ajukan kalian ke tingkat provinsi. Tapi kami minta satu hal."

"Apa itu?"tanya Naira.

"Jangan hilangkan suara kalian. Tapi pastikan suara itu menginspirasi, bukan menakuti."

Sore itu, mereka duduk di bawah pohon flamboyan.

Alvan menggenggam tangan Naira.

"Kita nggak cuma nulis buat didengar. Sekarang, kita nulis buat diingat."

"Tapi kita tetap nulis dengan hati yang sama, kan?"

"Selalu."

Malamnya, Naira menulis:

Seragam putih abu-abu tampak bersih dari luar.Tapi di dalamnya, ada banyak luka yang tak terlihat.

Hari ini aku belajar: kita tidak harus menyembunyikan luka.Karena justru dari luka itulah, tumbuh keberanian untuk bicara.

More Chapters