Dua minggu setelah perpisahan di stasiun, dunia Naira dan Alvan tak lagi sama.
Yogyakarta bagi Naira adalah kota dengan aroma hujan dan angin sastra. Jalan Malioboro penuh lampu temaram, dan suara gamelan yang kadang sayup terdengar dari angkringan dekat asrama. Ia sibuk mengikuti kelas menulis, sesi diskusi, dan jam-jam panjang memikirkan makna setiap kalimat.
Tapi di sela itu semua…Ia tetap menulis untuk satu nama yang tinggal di kota lain.
Alvan,
Hari ini aku belajar satu hal penting:Kata "rindu" ternyata bisa muncul bahkan ketika hidupmu sedang penuh-penuhnya.
Dan kamu tahu apa yang lebih lucu?Aku mulai terbiasa hidup tanpamu di dekatku… tapi belum pernah bisa benar-benar berhenti ingin cerita ke kamu lebih dulu.
Di Bogor, Alvan mulai menjalani rutinitas baru: sekolah yang lebih disiplin, lingkungan yang lebih asing, dan rumah yang kini hanya dihuni dua orang—ia dan ibunya.
Tapi di tengah semua itu, ada satu hal yang membuatnya merasa tetap hidup:membaca ulang buku kecil yang diberikan Naira.
Kadang ia membuka halaman secara acak, dan menemukan catatan seperti:
Hari ini aku ingin menyerah. Tapi aku ingat, kamu pernah bilang, "yang kuat itu bukan yang nggak pernah jatuh, tapi yang mau bangun lagi." Jadi aku bangun. Untuk kita.
Dan setiap kali membaca itu, Alvan tersenyum—pahit, hangat, tapi jujur.
Suatu malam, hujan turun deras di Bogor. Alvan berdiri di balkon, mendengarkan rintik yang menampar genting.
Lalu ponselnya berbunyi.
Pesan dari Naira:
Naira:"Kalau kamu jadi bintang, kamu pengen bersinar terang… atau pengen cukup terlihat oleh satu orang aja?"
Alvan mengetik balasan:
Alvan:"Gue cuma mau bersinar cukup buat kamu lihat, walaupun kita beda langit."
Malam itu, dua kota berbeda dipayungi hujan yang sama. Dua hati yang tak bisa bersentuhan, tapi saling mengirimkan getar melalui kata.
Naira menulis di jurnal malamnya:
Jarak memang mengukur kilometer.Tapi perasaan… tak pernah bisa diukur.
Selama kita saling percaya aku yakin, langit yang berbeda pun akan tetap terasa satu.