Setelah pidato Naira di forum literasi remaja, namanya mulai dikenal lebih luas. Ia mulai menerima undangan untuk berbicara, menulis di buletin sekolah lain, bahkan akun media sosialnya yang dulu sepi kini dipenuhi pesan dan komentar.
Sementara itu, Alvan… tetap berada di tempat yang sama.
Suatu siang, mereka duduk di kantin, seperti biasa. Tapi ada yang tidak seperti biasa—diam di antara mereka tidak lagi nyaman.
"Besok aku diundang ke SMA 4 buat jadi pembicara,"kata Naira pelan, sambil mengaduk jus jeruknya.
"Keren," jawab Alvan singkat.
"Kamu nggak nanya aku mau ngomong soal apa?"
"Kalau kamu mau cerita, pasti kamu cerita."
Nada itu… datar. Dan entah kenapa, membuat dada Naira terasa sedikit sesak.
Beberapa hari setelahnya, Naira mengirim pesan:
Naira:"Mau nemenin aku latihan presentasi?"
Tak ada balasan. Hingga malam.
Alvan:"Maaf, sibuk."
Naira mulai bertanya-tanya—apakah Alvan… sedang menjauh?
Sampai akhirnya ia mendengar sendiri dari Rani,
"Gue lihat Alvan akhir-akhir ini sering nongkrong sendiri di lapangan basket. Dia keliatan beda, Na."
Akhirnya, malam minggu itu, Naira datang ke lapangan. Alvan duduk sendirian, hoodie-nya menutupi sebagian wajah. Seolah tak ingin dikenali dunia—bahkan oleh dirinya sendiri.
"Kenapa kamu nggak cerita?"tanya Naira, duduk di sebelahnya.
"Tentang apa?"
"Tentang apa pun yang kamu pendam. Aku bisa rasain kamu makin jauh."
Alvan terdiam. Lama.
"Gue ngerasa… ketinggalan," katanya akhirnya."Gue senang kamu bersinar. Tapi di saat yang sama, gue takut kamu gak butuh gue lagi."
Naira menoleh, matanya memanas.
"Kenapa kamu bisa pikir kayak gitu?"
"Karena semua orang lihat kamu sekarang. Semua orang dengerin kamu. Sementara gue masih… anak bermasalah dengan masa lalu yang belum kelar."
Naira menghela napas panjang.
"Van, kamu bukan penonton dalam hidupku. Kamu bagian dari cerita itu."
"Tapi ceritanya sekarang milik kamu."
"Bukan. Cerita ini milik kita. Dan kalau kamu merasa kehilangan arah, aku akan berhenti sebentar… nungguin kamu nemu jalannya lagi."
Mereka duduk dalam diam. Tapi kali ini, diam itu seperti selimut: melindungi, bukan memisahkan.
Malam itu, Naira menulis:
Kadang, saat kita mulai naik ke tempat yang lebih tinggi,kita takut orang yang kita sayang tertinggal.
Tapi hubungan yang benar… bukan soal siapa yang paling dulu sampai.Tapi siapa yang mau menunggu, dan siapa yang mau menyusul.