Hari itu datang lebih cepat dari yang mereka harapkan.
Stasiun penuh hiruk-pikuk. Suara pengumuman bersahutan dengan langkah-langkah terburu. Tapi di tengah keramaian itu, dua anak muda berdiri diam, seolah dunia hanya menyisakan ruang untuk mereka.
Naira memeluk map berisi draft puisinya—naskah yang akan ia bawa ke Yogyakarta.Alvan berdiri dengan tas ransel, akan segera menuju Bogor bersama ibunya.
Dua arah. Dua kereta. Dua waktu keberangkatan yang hanya beda beberapa menit.
"Kamu siap?"tanya Alvan sambil menatap Naira, matanya tenang, tapi nadanya menyimpan guncang.
Naira mengangguk.
"Aku takut," katanya jujur."Tapi siap."
"Takut itu wajar."
"Kamu?"
Alvan tertawa kecil, hambar.
"Gue takut banget. Tapi mungkin ini waktunya kita buktiin kalau kita bisa tumbuh… bukan cuma karena saling deket, tapi karena saling percaya."
Hening sejenak.
Lalu Naira menyerahkan sesuatu—sebuah buku kecil, berisi tulisan tangan.
"Ini... catatan yang belum pernah aku unggah atau baca di depan siapa pun. Ini cuma buat kamu."
Alvan menerimanya, membuka halaman pertama.
Tertulis:
Untuk kamu yang pernah menyelamatkan aku, bahkan saat kamu sendiri belum utuh.
"Kalau kamu rindu, baca itu," kata Naira.
"Kalau kamu rindu…"Alvan membuka jaketnya dan menunjukkan lencana kecil di kerah seragam SMA mereka."…lihat ini. Gue bakal bawa terus, sampai ketemu lagi."
Panggilan kereta mulai terdengar.
Mereka saling pandang.
Tak ada pelukan. Tak ada ciuman. Hanya tatapan panjang yang menyimpan lebih dari ribuan kata.
"Sampai ketemu lagi," kata Naira pelan.
"Gue nggak akan bilang 'selamat tinggal'," jawab Alvan."Karena hati gue nggak pernah pergi."
Naira tersenyum, menahan air mata.
"Jaga diri."
"Kamu juga."
Dan mereka berbalik.Berjalan menjauh.Menuju kereta masing-masing.
Tapi mereka tahu:Langkah mereka hanya berpisah di jalan. Bukan di tujuan.
Malam itu, dari jendela kereta, Naira melihat kota-kota melintas dalam gelap. Ia menulis di ponselnya:
Kita tidak berpisah karena saling melepas.Tapi karena saling percaya.
Dan suatu hari nanti…Jika waktunya tepat, kita akan kembali—bukan sebagai anak-anak yang saling mencari arah,tapi sebagai dua jiwa yang telah tumbuh, dan memilih pulang.