Hari-hari belakangan ini terasa seperti langit senja—indah, tapi sebentar lagi gelap.
Naira baru saja menerima kabar dari pihak sekolah: ia lolos seleksi program beasiswa menulis di luar kota, tepatnya di Yogyakarta, selama tiga bulan. Program intensif bersama penulis-penulis muda nasional.
Sebuah kesempatan emas.Sebuah mimpi yang sejak lama ia simpan diam-diam.
Tapi di tengah kabar gembira itu, Alvan justru membawa kabar sebaliknya.
"Nyokap gue mutusin buat pindah ke Bogor bulan depan," kata Alvan, suatu sore."Dia dapet kerjaan tetap di sana. Dan pengen gue ikut."
Naira menatapnya, diam.
"Gue belum jawab," lanjutnya."Karena gue… gak tahu harus milih apa."
Mereka duduk di bangku taman belakang sekolah. Di bawah pohon yang sama, tempat mereka dulu latihan puisi pertama kali. Tempat mereka dulu sama-sama mengakui ketakutan, dan berani jujur.
"Jadi kita berdua ditawari jalan yang berbeda," kata Naira pelan.
"Iya. Dan dua-duanya bukan di sini."
"Kalau kamu ikut ibumu, kamu bisa mulai dari awal. Hidup baru."
"Dan kamu bisa jadi penulis hebat."
"Tapi kalau kita sama-sama pergi… apa kita masih bisa tetap berjalan bareng?"
Alvan tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menggenggam ujung lengan seragamnya erat.
Malam itu, Naira berdiri di depan cermin.
Ia mencoba membayangkan hidupnya tanpa Alvan di dekatnya. Tanpa suara berat yang sering mengolok-olok puisinya. Tanpa tatapan mata yang diam-diam memberinya keberanian.
Dan ia menangis.
Bukan karena takut ditinggalkan.
Tapi karena untuk pertama kalinya, ia harus memilih antara cinta dan impian.
Beberapa hari kemudian, mereka kembali duduk bersama—kali ini tidak di sekolah, tapi di taman kota tempat Naira biasa menulis diam-diam.
"Gue pikir-pikir, Na," kata Alvan akhirnya,"Kita nggak harus selalu ada di tempat yang sama, buat tetap saling ada."
"Maksudnya?"
"Mungkin kita bakal pisah jalan buat sementara. Tapi itu bukan akhir cerita. Kita cuma butuh percaya… bahwa cerita ini cukup kuat buat tetap lanjut, walau halamannya beda."
Naira tersenyum lirih.
"Kalau kita bertahan sejauh ini, mungkin… kita bisa bertahan lebih lama."
"Gue gak janji bakal gampang," sambung Alvan."Tapi gue janji… kalau suatu hari kamu ngerasa capek, kamu bisa balik ke gue. Ceritain semua."
"Dan kamu juga. Kalau kamu ragu, kamu tahu harus nyari siapa."
Malamnya, Naira menulis:
Cinta bukan soal selalu bersama.Tapi soal saling mendoakan, bahkan dari jauh.
Dan jika kita benar-benar berarti satu sama lain,maka dunia akan membawa kita bertemu lagi—dalam versi yang lebih utuh.