Langit siang itu mendung. Bukan mendung biasa—tapi yang membawa hawa berat, seperti pertanda akan datangnya sesuatu yang tidak diundang.
Dan bagi Alvan, hari itu adalah hari ketika masa lalunya datang… tanpa permisi.
Naira sedang duduk di tangga belakang perpustakaan, menunggu Alvan untuk sesi revisi naskah puisi terakhir. Namun, ia menerima pesan yang hanya berisi dua kata:
Alvan:"Nggak bisa."
Ia menunggu kelanjutannya, tapi tak ada balasan.
Setengah jam kemudian, Intan datang terburu-buru.
"Na, kamu udah denger belum?"
"Denger apa?"
"Alvan… dipanggil ke sekolah karena ayahnya muncul. Tiba-tiba."
Naira membeku.
Sore itu, setelah sekolah sepi, ia menemukan Alvan duduk sendiri di lapangan basket, hujan gerimis mulai turun. Jaketnya basah sebagian, rambutnya menempel di dahi, dan pandangannya kosong.
"Van…"
Alvan tak menoleh. Tapi ia tahu itu suara Naira.
"Dia datang," katanya pelan."Setelah lima tahun, dia datang... cuma buat bilang dia mau balik urus gue."
"Ayahmu?"
"Bukan. Pria yang ninggalin gue dan nyokap waktu gue masih SMP itu nggak pantas disebut ayah."
Naira duduk di sebelahnya. Hujan terus turun, tapi tak ada dari mereka yang peduli.
"Dia datang cuma buat bersihin nama dia. Bilang katanya dulu dia salah langkah, dan sekarang mau jadi orang tua yang baik. Tapi dia nggak tanya… gue pernah nangis berapa malam waktu dia ninggalin nyokap."
Suara Alvan mulai bergetar, meski ia berusaha tetap terdengar dingin.
"Dia pikir semua bisa beres cuma karena dia minta maaf?"
Naira menatapnya pelan.
"Kamu marah?"
"Gue bukan cuma marah. Gue muak. Karena tiap kali gue mulai ngerasa hidup gue baik-baik aja, masa lalu selalu datang nyeret lagi."
Hening.
"Tapi kamu tetap di sini," sambungnya, tanpa menatap Naira."Kamu dengerin. Kamu nggak kabur. Kenapa?"
"Karena aku tahu rasanya ketika yang kamu butuhkan bukan solusi, tapi seseorang yang tetap tinggal."
Alvan memejamkan mata. Wajahnya dingin, tapi ada sesuatu yang runtuh di dalamnya.
"Gue takut, Na."
"Aku juga."
"Gue takut gue gak pantas buat semua ini. Buat kamu. Buat hidup yang tenang."
"Kita berdua nggak sempurna, Van. Tapi kita bisa belajar sama-sama."
Saat hujan reda, mereka masih duduk di tempat yang sama. Diam. Tapi saling menggenggam kehadiran satu sama lain.
Malamnya, Naira menulis:
Hari ini aku lihat seseorang yang selalu tampak kuat… akhirnya bicara soal ketakutannya.Dan aku tahu: keberanian bukan tentang melawan dunia.Tapi tentang berani bilang, "Aku butuh seseorang di sisiku."