Beberapa hari setelah kabar bahwa proyek mereka tetap lolos ke tingkat provinsi, suasana hati di antara mereka mulai tenang. Sekolah tak lagi penuh bisik-bisik, dan beberapa guru yang dulu skeptis… perlahan berubah jadi pendukung.
Tapi justru ketika dunia mulai menerima mereka, pertanyaan baru muncul di kepala Naira:Lalu setelah ini, apa?
Suatu sore, Naira duduk sendirian di ruang seni. Di tangannya, sebuah amplop putih polos—dari panitia lomba literasi kabupaten.
Di dalamnya: undangan menjadi pembicara tamu dalam sesi penulis muda berbagi.Sebuah kesempatan besar.
Namun, di sudut pikirannya, ada ketakutan.
"Apa aku pantas bicara di depan orang lain, padahal dulu aku bahkan takut bicara untuk diriku sendiri?"
Alvan menemukannya di sana. Ia membawa dua botol teh manis dingin, langsung duduk tanpa banyak tanya.
"Kamu kelihatan kayak abis baca surat dari mantan yang nyakitin."
Naira tertawa lemah.
"Lebih kayak surat dari masa depan yang bikin gugup."
"Surat apa?"
Naira menyerahkan undangan itu. Alvan membacanya pelan.
"Wow. Ini besar, Na."
"Aku tahu. Tapi... entahlah."
"Kamu takut?"
"Takut orang berpikir aku sok tahu. Takut aku cuma dilihat sebagai 'cewek sensitif yang nulis puisi galau'."
Alvan menatapnya dalam.
"Na, kamu bukan cuma penulis puisi galau. Kamu penulis yang bikin gue berani buka luka sendiri."
"Tapi…"
"Dan kamu orang yang bikin suara gue—yang dulu cuma teriak marah—jadi punya arah."
Naira menunduk.
"Kamu selalu bilang hal yang bikin aku pengen nangis."
"Gue juga selalu bilang yang gue rasa bener."
Malam itu, Naira duduk di mejanya. Ditemani teh hangat dan kertas kosong. Tapi untuk pertama kalinya… kertas itu tak lagi kosong karena ragu, tapi karena ia siap mengisinya dengan keberanian.
Ia mulai menulis pidato untuk undangan itu.
Bukan untuk membuat orang kagum.
Tapi untuk menyampaikan satu pesan:
Bahwa tak apa jadi remaja yang belum tahu siapa dirinya.Asal kita terus mencari.
Dan selama kita tak berhenti mencoba bicara...suara itu akan menemukan tempatnya sendiri.
Beberapa hari kemudian, ia tampil di hadapan puluhan pelajar dari berbagai sekolah.
Tangannya gemetar saat memegang mikrofon, tapi suaranya tak bergetar ketika membuka pidatonya:
"Dulu, aku takut bersuara.Karena aku pikir tak ada yang mendengarkan."
"Tapi aku salah.""Karena ternyata, kadang yang kita butuhkan bukan semua orang mendengar—cukup satu orang yang peduli."
Dan saat ia turun dari panggung, di barisan paling belakang, berdiri seseorang yang tersenyum paling tulus.
Alvan.
Malamnya, Naira menulis:
Dulu, menulis adalah caraku sembunyi.Sekarang, menulis adalah caraku muncul.
Karena di setiap kata… ada bagian dari diriku yang akhirnya berani hidup.