Sudah hampir dua minggu sejak Naira dan Intan benar-benar bicara.
Bukan karena bertengkar, bukan juga karena membenci. Tapi karena diam yang tak sengaja tumbuh jadi jurang. Setiap sapa terasa canggung, setiap tatap mata cepat dialihkan. Dan itu menyiksa Naira lebih dari yang ia kira.
Ia rindu Intan. Rindu suara tawa yang dulu jadi pengiring langkah ke kelas, rindu obrolan tak penting di kantin, dan rindu pelukan hangat tanpa banyak tanya.
Suatu sore, saat hujan baru saja reda, Naira memberanikan diri mengirim pesan.
Naira:"Bisa ketemu bentar di taman belakang? Aku janji cuma sebentar."
Tak lama, Intan membalas:
Intan:"Oke. 15 menit lagi."
Naira datang lebih dulu. Duduk di bangku kayu yang basahnya mulai mengering. Jantungnya berdebar. Tangannya memegang secarik kertas kecil—sebuah puisi yang belum sempat ia tunjukkan ke siapa pun.
Lalu Intan datang. Tidak banyak senyum. Tidak juga wajah dingin. Hanya… netral.
"Kamu panggil aku buat apa?"tanya Intan langsung.
Naira menatapnya.
"Aku cuma… pengen minta maaf."
"Kamu salah apa?"
"Aku nggak cerita. Aku nggak terbuka. Aku membuat kamu merasa disingkirkan."
Intan diam sebentar. Lalu berkata pelan:
"Kamu nggak menyingkirkan aku, Na. Aku yang menjauh. Karena aku takut... kehilangan kamu."
"Kehilangan?"
"Kamu berubah. Kamu bersinar. Dan aku... aku iri. Aku takut kamu nggak butuh aku lagi."
Naira menggigit bibir, menahan emosi.
"Intan, kamu temanku yang paling ngerti aku. Kamu saksi setiap halaman puisi pertamaku. Gimana aku bisa nggak butuh kamu?"
Air mata menggenang di mata Intan.
"Tapi kamu dekat sama Alvan."
"Itu nggak berarti aku jauh dari kamu."
"Aku tahu sekarang. Tapi waktu itu, aku ngerasa semua yang aku kenal berubah dalam semalam."
"Dan kamu nggak tanya langsung."
"Karena aku takut... jawabannya menyakitkan."
Beberapa detik mereka saling diam. Angin sore meniup rambut mereka perlahan.
Lalu Naira menyerahkan kertas yang ia genggam sejak tadi.
"Aku tulis ini waktu kamu mulai menjauh."
Intan membaca pelan:
Sahabatku bukan pantulan bayangan.Ia cahaya yang menerangi diamku selama ini.
Dan meski kini langit sedikit mendung,Aku percaya: matahariku hanya tertutup sejenak.
Karena aku masih menunggumu… di tempat yang sama.
Air mata Intan jatuh.
"Kamu selalu bisa bikin kata-kata lebih jujur dari bibir."
"Karena kadang aku takut kalau harus bilang langsung."
Intan tersenyum, lalu memeluk Naira erat.
"Jangan berubah jadi orang lain, ya."
"Aku nggak berubah. Aku cuma akhirnya berani jadi diriku sendiri."
Mereka duduk lama di taman sore itu. Tak banyak kata. Tapi tak perlu. Karena kadang, yang paling menyembuhkan… adalah duduk berdampingan tanpa syarat.
Malamnya, Naira menulis:
Hari ini, aku tidak kehilangan sahabat.Aku hanya sempat kehilangannya dalam kabut.
Dan ketika kabut itu pergi...aku tahu, dia masih di sana menungguku untuk bicara.