Cherreads

Chapter 11 - Bab 11: Ujian dan Jarak

Setelah penampilan mereka di panggung, segalanya berubah—bukan secara drastis, tapi cukup untuk dirasakan.

Naira tak lagi jadi "si pendiam yang selalu sendiri." Banyak siswa mulai menegur, bahkan beberapa guru memberi apresiasi langsung. Ada yang bertanya tentang puisinya, ada yang mengundangnya menulis untuk mading sekolah.

Dan Alvan… kini bukan lagi sekadar "anak bandel." Namanya mulai disebut dengan nada berbeda—bukan sebagai ancaman, tapi sebagai harapan.

Namun perubahan tak datang tanpa ujian.

Pagi itu, kabar menyebar cepat: Alvan dipanggil ke ruang BK.

Naira yang sedang duduk di perpustakaan melihatnya lewat lorong. Wajah Alvan datar, tapi langkahnya berat.

Beberapa siswa mulai bergosip.

"Kayaknya dia diselidiki karena naskah presentasinya mirip sama salah satu karya online.""Iya, katanya katanya bagian puisi yang dia baca tuh bukan karyanya sendiri."

Naira terkejut.

Tidak mungkin. Itu puisinya. Ia tahu setiap kata yang ditulis dan setiap jeda dalam kalimatnya.

Tanpa banyak pikir, ia mendatangi ruang BK dan mengetuk pintu.

Pak Seno membuka, menatapnya ragu.

"Ada apa, Naira?"

"Saya ingin bicara."

Di dalam ruangan, Alvan duduk dengan ekspresi tertahan.

"Saya dengar ada yang bilang Alvan menyalin karya."

Pak Seno mengangguk.

"Kami mendapat laporan anonim. Kami harus menindaklanjuti."

"Kalau begitu, saya ingin menyatakan bahwa puisi itu… adalah milik saya."

Pak Seno terdiam.

"Kamu yakin?"

"Saya yang menulisnya. Alvan membaca dengan izin saya. Kalau perlu, saya bisa tunjukkan buku puisinya—dan coretan tangannya."

Alvan menatap Naira. Wajahnya tegang, tapi matanya… hangat.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Lalu Pak Seno akhirnya mengangguk.

"Baik. Saya catat ini sebagai klarifikasi resmi. Kalian boleh kembali ke kelas."

Saat mereka keluar dari ruang BK, Alvan menoleh.

"Kamu nggak harus lakuin itu."

"Aku nggak akan diam kalau yang benar difitnah."

"Kamu tahu… waktu kamu buka mulut di ruang itu, rasanya gue baru ngerti apa arti 'berani'."

Naira tersenyum kecil.

"Kita sama-sama belajar, kan?"

Namun setelah kejadian itu, Alvan mulai menjaga jarak.

Bukan menjauh sepenuhnya, tapi lebih… berhati-hati. Tidak duduk terlalu dekat, tidak menatap terlalu lama. Seolah ada jarak tak terlihat yang mulai tumbuh.

Naira menyadarinya. Dan ia menulis:

Jarak bukan selalu soal tempat,Kadang ia tumbuh dari rasa takut.

Takut melukai, atau takut terluka.Tapi jika terus diam... bukankah itu luka juga?

Beberapa hari kemudian, Naira menunggu Alvan di taman sekolah. Hujan baru saja reda, rumput masih basah.

Ia membawa dua cangkir kopi susu instan dari koperasi sekolah. Dan ketika Alvan datang, ia langsung menyodorkan satu.

"Aku nggak suka nunggu, Van. Tapi aku lebih nggak suka kehilangan sesuatu karena salah paham."

Alvan menatap cangkir itu. Lalu menatap Naira.

"Gue gak menjauh karena marah. Gue menjauh karena takut bikin kamu capek."

"Kalau aku capek, aku akan bilang. Tapi jangan pergi tanpa nanya."

Alvan tertawa pelan.

"Deal. Mulai sekarang, kita bikin aturan itu."

Hari itu, langit tak begitu biru. Tapi hati mereka kembali tenang.

Karena terkadang, hubungan tak butuh janji manis—hanya keberanian untuk tetap tinggal meski tak semua nyaman.

More Chapters