Cherreads

Chapter 6 - Bab 6 — Api yang Mulai Menyala

Pagi hari di Desa Gunung Awan Jingga biasanya penuh suara riang: ayam berkokok, anak-anak berlarian, para pedagang berangkat membawa hasil panen. Namun pagi itu terasa berbeda. Ada kegelisahan halus di udara, seolah angin membawa bisikan yang tak ingin didengar siapa pun.

Dan Boy menyadarinya lebih cepat dari orang lain.

Ia sedang berdiri di lapangan desa, menunggu Sita seperti yang gadis itu janjikan. Udara dingin masih terasa, dan embun menempel di kakinya. Badu dan Lily duduk di bawah pohon sambil mengantuk.

"Dia telat," gumam Badu sambil menguap.

"She's not the type to break a promise…" jawab Lily dengan mata tertutup.

Boy tidak mendengar keduanya. Ia menatap ke arah utara—ke arah gunung yang semalam memancarkan kilatan merah. Dadanya terasa berat, seolah sesuatu di sana memanggilnya lagi.

Dan tepat ketika matahari baru muncul…

Sita datang berlari.

Namun kali ini wajah gadis itu pucat.

"BOY!" teriaknya.

Boy langsung maju. "Ada apa?!"

Sita berhenti dengan napas tersengal. "Garuda Hitam… Mereka… Mereka di desa!"

Badu langsung berdiri. "Apa?!"

"Bukan cuma mereka!" Sita menunjuk ke arah jalan masuk desa. "Mereka membawa seseorang… Seorang pria berjubah hitam! Semua orang ketakutan!"

Boy merasakan jantungnya berdegup keras. "Kita harus lihat."

Mereka berempat berlari menuju alun-alun desa. Dan ketika mereka tiba, seluruh warga sudah berkumpul. Mereka mundur ketakutan, membuat lingkaran besar.

Di tengah-tengah lingkaran itu berdirilah Kelompok Garuda Hitam, lengkap dengan seragam mereka yang hitam dan emblem besi di dada.

Namun perhatian semua orang bukan pada mereka.

Melainkan pada sosok yang berdiri di depan mereka.

Pria itu tinggi, bahunya lebar, dan tubuhnya dibalut jubah hitam panjang dengan motif seperti sisik ular. Wajahnya tertutup topeng kayu gelap dengan ukiran menyeramkan menyerupai wajah iblis. Rambut panjangnya menjuntai liar, dan aura di sekelilingnya… dingin. Sangat dingin.

Seakan udara di sekitarnya ditelan keheningan.

Pemimpin Topeng Baja, Renco, maju satu langkah dan berteriak:

"DENGARKAN! Ini Master Ruyak—guru besar Garuda Hitam! Mulai hari ini ia mengawasi semua seni bela diri di wilayah utara desa kalian!"

Warga saling menatap panik.

Kepala desa belum tiba. Para tetua belum keluar.

Sita berbisik pada Boy, "Dia… bukan orang biasa."

Boy mengangguk pelan. Dadanya semakin sesak.

Pria bertopeng itu, Master Ruyak, mengangkat tangan. Suaranya dalam, serak, namun memantul seperti gema.

"Aku datang… untuk satu alasan."

Semua menelan ludah.

Master Ruyak menunjuk langsung ke arah Boy.

"Aku mencari… bocah itu."

Boy membeku.

Badu memekik lirih, "Jangan bilang dia maksud… kau, Boy…"

Lily mundur setengah langkah, wajahnya langsung pucat.

Sita menggigit bibir keras-keras. "Kenapa mereka mengincarmu lagi…?"

Boy tidak tahu harus berkata apa. Langkah-langkah kecil di belakang mereka terdengar. Lila tiba—berlari.

"B-Boy!" Rani mendekat dengan gugup. "Kau… aman? Aku dengar"

Tapi suara di alun-alun terlalu tegang. Semua mata tertuju pada Boy.

Master Ruyak melangkah maju.

"Aku dengar kau menantang murid-muridku. Aku mendengar… kau sedang berlatih."

Ia mengangkat tangan kanannya, memperlihatkan bekas luka gelap berkilat seperti terbakar.

"Anak nakal sepertimu… bahkan memiliki keberanian untuk menampar wajah Garuda Hitam."

Rendi tertawa. "Dia memang keras kepala, Master!"

Master Ruyak menunduk sedikit, seolah ketawa tanpa suara.

"Baiklah…"

Tangannya bergerak.

BRAAAK!

Tanah di bawah kakinya retak.

Warga menjerit.

Boy sendiri hampir jatuh mundur karena getaran itu.

"Aku hanya ingin memastikan bocah kecil ini tahu…"

Master Ruyak menggeram.

"Bahwa dunia kungfu bukan permainan."

Boy mengepalkan tangan.

Badu menarik lengan Boy. "Jangan maju! Dia terlalu kuat!"

"Kau gak bisa lawan dia," tambah Lily.

Sita maju berdiri di depan Boy. "Kalau mau serang Boy… kau harus lewat aku dulu!"

Rani ikut maju, meski tubuhnya gemetar. "Aku… aku juga! Jangan salahkan Boy!"

Boy tertegun melihat keempat berdiri di depannya. Teman-temannya… benar-benar berusaha melindunginya.

Master Ruyak menggeleng.

"Aku tidak datang untuk membunuh."

Semua terdiam.

"Aku datang untuk menguji."

Ia mengangkat tangan, lalu menunjuk Boy.

"Anak itu memiliki sesuatu… sesuatu yang terikat dengan kekuatan lama yang seharusnya sudah mati. Aku merasakannya sejak malam kemarin."

Boy mundur setapak.

Kekuatan lama? Apa maksudnya?

Tapi sebelum ia sempat bertanya, suara langkah berat terdengar.

DUM… DUM…

Dari sisi jalan masuk desa, seseorang berjalan dengan tongkat kayu.

Master Raga.

Warga langsung membuka jalan. Master Raga menghampiri Master Ruyak dengan langkah tenang, tapi sorot matanya tajam, penuh kewaspadaan.

"Ruyak…" gumam Master Raga.

"Raga…" jawab pria bertopeng itu.

Badu hampir tersedak. "Mereka saling kenal?!"

Master Raga berdiri di antara Boy dan Ruyak. "Apa yang kau inginkan dari muridku?"

Ruyak menegang. "Itu muridmu? Seorang bocah lemah tak berbakat?"

Master Raga tersenyum kecil. "Setiap raksasa dimulai sebagai bayi. Kau lupa?"

Ruyak menggeram.

Master Raga pun berkata, "Aku jamin, Boy akan menjadi petarung hebat suatu hari. Dan dia tidak punya urusan denganmu."

Ruyak mendekat, kedua aura mereka bertabrakan seperti dua gunung saling mendorong.

"Dia… punya kekuatan itu, Raga. Kau tidak merasakannya?"

Master Raga terdiam.

Boy menatap Master Raga. "Master… apa maksudnya?"

Namun Master Raga tidak menjawab.

Ruyak menunjuk Boy lagi.

"Boy… suatu hari kekuatan itu akan bangkit. Dan ketika hari itu tiba, kau akan jadi ancaman yang lebih besar dari Garuda Hitam… atau bahkan aku."

Boy tidak mengerti. Tapi ia tahu satu hal:

Ruyak tidak sedang bercanda.

Pria itu mundur perlahan, memberi isyarat kepada Garuda Hitam untuk pergi.

Namun tepat sebelum ia menghilang di antara kerumunan, Ruyak berkata:

"Latih bocah itu… sebelum aku kembali."

Dan lalu...

WUSH!!

Ruyak menghilang secepat bayangan.

Ketegangan di desa belum hilang ketika Master Raga menarik Boy ke tempat terpisah.

"Boy…" katanya berat.

"Benar yang dia katakan. Dalam dirimu ada kekuatan yang belum bangkit. Kekuatan yang sudah lama hilang dari dunia ini."

Boy terbelalak. "Kekuatan… apa?"

Master Raga menatap ke arah hutan utara. "Kita akan mencari tahu. Tapi satu hal pasti…"

Ia menatap Boy dalam-dalam.

"Mulai hari ini, latihannya… akan berubah."

"Berubah?" Boy menelan ludah.

Master Raga mengangguk. "Akan jauh lebih berat."

Boy menggenggam kain pemberian Rani di kantongnya.

Ia menegakkan tubuh.

"Aku siap."

Master Raga tersenyum tipis. "Semoga saja… kau benar."

Karena di kejauhan, di puncak gunung utara, sebuah cahaya merah kembali menyala lebih terang, lebih menakutkan.

Seolah menandakan…

Anak itu sudah dipilih.

Dan nasib dunia mulai bergerak.

More Chapters