Cherreads

Chapter 5 - Angin berhembus dari utara

Angin malam berembus dari arah utara, membawa aroma lembap dari hutan dan gunung yang membentang gelap seperti rahang raksasa. Boy masih duduk di beranda rumahnya, memandangi kain putih pemberian Rani. Cahaya bulan memantul di permukaan kain itu, mengingatkannya pada harapan seseorang, seseorang yang percaya padanya meski ia sering dianggap pembuat masalah.

Namun di balik semua itu, firasat buruknya tidak hilang. Ada sesuatu yang menekan dadanya. Sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang seakan dia sedang diperhatikan oleh sosok tak terlihat.

Dan itu bukan sekadar bayangan pikiran.

---

Ketika fajar datang, Boy sudah berada di depan rumah Master Raga. Bahkan ayam pun belum berkokok, dan langit masih biru gelap. Ia mengetuk perlahan.

Tok… tok…

Tak ada jawaban.

Boy mengintip melalui celah jendela, tapi suasana di dalam gelap. Baru ketika ia hendak mengetuk lagi, pintu terbuka pelan.

Master Raga berdiri di sana dengan mata mengantuk setengah terpejam.

"…Boy," katanya pendek. "Kau terlalu cepat."

"Master bilang lebih awal," jawab Boy polos.

Master Raga merenggangkan tulang lehernya. "Aku bilang awal. Bukan mengganggu orang tua ini sebelum sempat minum teh."

Boy tertawa kecil.

Namun tawa itu langsung berhenti ketika Master Raga menatapnya lebih tajam, aura serius perlahan muncul dari raut wajahnya yang biasanya tenang.

"Masuk. Kita mulai sekarang."

---

Pondok latihan itu dipenuhi aroma tanah basah dan sedikit asap dupa yang entah sejak kapan menyala. Di tengah ruangan kecil itu, Master Raga mengambil sebuah tong kayu panjang, lalu menyerahkannya kepada Boy.

"Hari ini… kita melatih ketahanan, respons, dan pernapasan. Kau akan menggunakan tongkat ini untuk menahan seranganku."

"Eh?" Boy langsung pucat. "Master… pake tongkat juga?"

"Tidak."

Boy menghela napas lega.

Namun Master Raga melanjutkan, "Aku pakai tangan saja."

Leganya langsung hilang.

"Bersiap."

Boy belum sempat menaruh kuda-kuda ketika—

WUSS!

Bahu kirinya langsung kena pukulan ringan tapi cepat seperti kilat.

"AU!"

"Itu baru sentuhan."

Dug!

Pinggangnya kena tendangan samping.

"UWAH! Master! B-Bentar!"

"Kaki terlalu lambat."

Tap!

Jidatnya kena ketukan.

"Aduh!"

"Kau terlalu fokus pada rasa sakit."

Boy memegangi jidatnya. "Tapi ini sakit beneran!"

Master Raga berdeham. "Boy, seorang petarung harus belajar merasakan serangan sebelum melihatnya. Dudukkan rasa takutmu. Rasakan arah angin. Dengarkan setiap gerakanku."

Boy mencoba menenangkan napas. Master Raga kembali bergerak cepat. Namun kali ini Boy mulai mendengar desiran kain, langkah kaki menjejak, dan hembusan napas gurunya.

Ia mengangkat tongkat dan

PLAK!

Ia berhasil menahan satu pukulan.

Boy tersenyum lebar. "Aku kena, Master!"

"Bagus."

DUG!

"AU!" Boy terjungkal karena tendangan berikutnya.

"Dan itu pelajarannya. Jangan terlalu cepat puas."

---

Latihan berlangsung hingga matahari naik setinggi pohon kelapa. Ketika akhirnya Boy roboh terkapar di tanah, napasnya kacau, keringat mengucur deras, dan seluruh tubuhnya berdenyut seperti baru dipukuli Garuda Hitam sambil digilas kerbau.

Badu dan Lily datang membawa roti dan air.

"BOOOOY!! Kau hidup?!" Badu memekik.

Boy mengangkat jempol lemah. "…Hidup… sepertinya."

Lily berlutut memeriksa lebam di lengan Boy. "Ini metode latihan yang… ekstrem."

Master Raga menjawab santai sambil menyeruput teh, "Kalau dia mau melawan Topeng Baja, lebam kecil ini bukan apa-apa."

Boy diam. Ia tahu itu benar.

Setelah istirahat, latihan berlanjut dengan teknik dasar: pukulan lurus, kuda-kuda rendah, sikap kuda runcing, serta teknik tangkisan sederhana. Setiap kali Boy mulai goyah, Master Raga hanya berkata:

"Bangkit."

Dan Boy bangkit.

"Ulangi."

Dan Boy mengulang.

"Kau bisa lebih baik."

Dan Boy terus mencoba.

Wajahnya lebam, tangannya gemetar, tapi matanya menyala dengan tekad yang belum pernah terlihat sebelumnya.

Malam itu, Boy duduk di ruang tengah bersama neneknya yang sedang merapikan obat-obatan herbal.

"Nek," Boy mulai, "menurut nenek… aku bisa jadi kuat?"

Neneknya tersenyum, keriput di wajahnya terlihat hangat.

"Kau bukan hanya akan menjadi kuat. Kau akan menjadi orang yang berguna."

Boy menunduk.

"Tapi perjalananmu tidak akan mudah, Boy. Orang yang ingin kuat harus siap kehilangan sesuatu. Entah waktu, tenaga… atau bahkan kedamaian."

Boy menatap mata neneknya. "Aku siap."

Neneknya mengelus kepala Boy. "Kalau begitu, teruslah berjalan. Jangan berhenti."

Saat itulah seekor burung hitam hinggap di pagar rumah mereka. Matanya merah gelap. Boy memicingkan mata, belum pernah ia melihat burung seaneh itu di desanya.

Burung itu menatap Boy… lalu mengeluarkan suara serak seperti bisikan.

"Dia… mengawasi…"

Boy merinding. Burung itu terbang pergi ke arah utara, ke arah gunung gelap yang sejak kemarin terasa memanggil.

Dan tepat ketika burung itu menghilang di balik pepohonan…

Langit di utara memancarkan kilatan merah samar.

Boy berdiri tegak.

Siapa pun yang mengawasiku… aku akan datang.

Dan aku akan siap.

More Chapters