Cherreads

Chapter 9 - Monument Angin Hitam

Sore hari itu, langit tampak berjalan lambat. Awan-awan kelabu menggantung berat seperti sedang menunggu sesuatu turun dari langit. Boy, yang baru selesai latihan teknik Angin Dalam, merasakan bulu kuduknya berdiri sejak siang. Sesuatu di udara terasa… salah.

Wajah Master Raga pun tampak sedikit tegang—berbeda dari biasanya yang selalu teduh walaupun sedang marah. Hari itu ia tidak banyak bicara.

"Latihan selesai sampai di sini," katanya. "Kalian semua pulang lebih cepat."

Badu yang masih semangat langsung mengeluh. "Lah, Master! Saya baru panas ini!"

Master Raga menatapnya sebentar. Badu langsung terdiam.

"Ada yang tidak beres," Master Raga berkata sambil melihat ke arah utara desa. "Kalian pulanglah. Jangan berkeliaran setelah matahari terbenam."

Nada suaranya begitu serius hingga membuat Boy merasakan dingin di tulang belakang. Mereka semua mengangguk, lalu berpamitan pulang.

Tapi Boy tidak langsung pergi. Ia memandang Master Raga dari belakang.

"Master… ini tentang Master Ruyak, ya?"

Master Raga tidak menjawab. Namun tatapan matanya yang gelap sudah cukup untuk menjelaskan semuanya.

Desa yang Gelisah

Saat Boy berjalan pulang bersama Tegar, Danu, dan Badu. ia melihat banyak warga berkumpul di balai desa. Beberapa lelaki tampak cemas, wanita-wanita berbisik. Suara-suara kecil seperti serpihan kekhawatiran memenuhi udara.

Ada yang menunjuk-nunjuk ke arah hutan utara.

Ada yang berkata, "Angin tadi aneh sekali, seperti ber putar."

Ada pula anak kecil yang menangis karena katanya melihat bayangan hitam melintas di atas rumah.

Sita muncul dari kerumunan dan berlari kecil menghampiri mereka. Pipi dan hidungnya memerah karena udara dingin.

"Boy… kalian lihat nggak? Katanya ada gerakan aneh dari hutan."

Boy mengangguk pelan. "Aku dengar."

Badu mengangguk dengan mulut penuh kacang rebus yang ia beli di jalan. "Pasti kerjaan Garuda Hitam!"

Tegar menyenggol lengan Badu. "Bego! Kamu jangan asal ngomong!"

Badu mencibir. "Eh tapi kan masuk akal. Kemarin mereka udah ngancem Boy."

Rani menyela dengan nada serius. "Kalau benar mereka melakukan sesuatu… Master Raga pasti tahu."

Mereka semua menoleh ke Boy. Ia mengangguk pelan.

"Master Raga bilang ada sesuatu yang nggak beres. Dan aku yakin… itu ada hubungannya."

Badu mendekatkan wajah. "Hubungannya apaan?"

Boy hendak menjawab, tapi tiba-tiba...

WUUUUUUSSSHHHH!!!

Angin dingin menerjang desa dari arah utara. Pohon-pohon menunduk. Debu berputar seperti pusaran kecil. Banyak warga menjerit kaget.

Boy menahan napas.

Ada suara dari kejauhan. Suara yang dalam. Suara yang seperti… geraman.

"Uarghhh…"

Danu menelan ludah. "Itu… suara apa barusan?"

Boy memejamkan mata sejenak, mencoba merasakan arah angin dengan teknik Angin Dalam. Dan saat ia membuka mata—

"A—ada sesuatu bergerak dari arah hutan."

Monument Angin Hitam

Langit berubah semakin muram ketika malam mulai turun. Boy tidak bisa tidur. Bahkan setelah nenek memanggilnya berkali-kali untuk makan malam, ia hanya bisa menatap keluar jendela.

Hatinya terus memanggil.

Ia merasa ada sesuatu di luar sana yang mengancam desa.

Dan akhirnya—ia keluar.

Dengan langkah mantap, Boy berlari menuju utara desa. Aroma tanah lembap bercampur dengan bau angin aneh yang seperti membawa… kegelapan.

Badu dan Danu muncul dari belakang semak.

"WOI BOY!! KAMU MAU KEMANA!!"

Boy terkejut. "Kalian ngikutin aku?!"

"YA IYALAH!" Tegar menepuk dada. "Mana boleh sahabat ninggalin sahabat!"

Danu mengangguk. "Kami tahu kamu nggak bisa diem kalau ada bahaya. Dan kami nggak mungkin biarin kamu ke sana sendirian."

Boy tersenyum kecil. "Terima kasih…"

Sebelum ia selesai bicara, suara ranting patah terdengar.

Tegar muncul.

"Kalau kalian bertiga mau mati, jangan lupa kami berempat juga ikut!"

Rani muncul dari belakang Tegar. "Kalian kira kami bakal duduk manis?!"

Sita menatap Boy dengan wajah tegas. "Situasi seperti ini… perempuan juga bisa bantu!"

Dan yang terakhir, Lily berjalan paling perlahan, wajahnya pucat.

"A-aku… juga ikut. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa…"

Boy terdiam. Ia merasa dadanya hangat dan berat pada saat bersamaan.

Mereka semua berani datang… demi dia.

Ia mengangguk mantap.

"Baik. Tapi kita harus hati-hati."

Puncak Bukit — Jejak yang Terungkap

Saat mereka mencapai puncak bukit, Boy berhenti. Nafasnya tercekat.

Mereka berdiri di tepi jurang kecil, memandang sebuah dataran batu kuno di tengah hutan.

Itulah Monument Angin Hitam.

Bangunan kuno itu berupa pilar batu setinggi lima meter dengan ukiran spiral seperti pusaran angin. Di sekelilingnya terhampar lingkaran batu-batu kecil yang tersusun rapi.

Tapi malam itu… semuanya tampak berbeda.

Ada asap hitam tipis yang berputar lambat di sekitar pilar. Udara menjadi berat, dan tanah bergetar pelan.

Tegar berbisik. "Apa itu tempat keramat yang sering orang-orang bicarain?"

Boy menjawab pelan, "Iya."

Rani memegang lengan Boy erat-erat. "Kurasa ini bukan tempat yang boleh sembarangan didatangi…"

Di tengah keheningan itu, sebuah suara menggelegar dari balik pilar.

"Aku tahu kalian akan datang."

Boy langsung sigap.

Suara itu terlalu familiar.

Master Ruyak muncul dari bayangan.

Di belakangnya, puluhan anggota Garuda Hitam berdiri melingkar, memegang tongkat dan pedang latihan. Wajah mereka penuh tawa sinis.

"BOY!!" Tegar bersiap mengambil batu.

"Tegar, jangan!" Boy menahan.

Master Ruyak menatap Boy dengan tatapan mencemooh. "Kau datang juga, bocah."

Boy melangkah maju. "Apa yang kamu lakukan di sini?!"

Master Ruyak melebarkan tangan, seakan mempersembahkan tempat itu.

"Kami… mengambil apa yang seharusnya menjadi milik kami."

Ia menunjuk ke pilar kuno itu.

"Monument Angin Hitam ini menyimpan kekuatan besar. Dengan membangunkan kekuatannya, aku bisa menguasai seluruh desa."

Boy mengepalkan tinju.

"Kekuatan yang bisa menghancurkan orang lain… bukan kekuatan sejati!"

Master Ruyak tertawa keras.

"Kekuatan sejati adalah kekuatan yang membuatmu paling ditakuti!"

Ia menapak keras ke tanah.

TARRRR!

Tanah bergetar. Asap hitam dari pilar berputar makin cepat.

Boy merasakan aura jahat yang sangat kuat.

"Master Ruyak!" Boy berteriak. "Kamu akan membangunkan sesuatu yang tidak seharusnya dibangunkan!"

Master Ruyak tersenyum kejam.

"Sudah terlambat."

Ia mengangkat tangan. Asap hitam menyelimuti tubuhnya.

Lodra dan anggota lainnya mulai membentuk formasi seperti ritual.

Sita menjerit.

"Ada sesuatu yang bangun di bawah tanah!!"

Boy merasakan getaran semakin kuat.

"Kalian semua! Mundur!!"

Tapi terlambat.

Monument Angin Hitam bersinar gelap, dan suara seperti seribu angin menggeram dari dasar hutan.

WUUUUUUURRRRHHHHHHHHH

Tanah pecah. Cahaya hitam meledak ke langit.

Dan dari dalam kegelapan itu…

sebuah sosok bayangan mulai muncul.

Sosok yang tidak seharusnya ada di dunia manusia.

Boy menelan ludah.

Ini bukan lagi hanya konflik antar kelompok.

Ini adalah awal bencana.

Dan ia, tanpa pilihan lain… berada tepat di tengahnya.

More Chapters