Cherreads

Chapter 7 - Pertemuan rahasia dan identitas Master Raga

Fajar baru saja merayap di balik bukit ketika Boy membuka mata. Tubuhnya masih terasa pegal setelah latihan berat bersama Master Raga kemarin. Tapi ada hal lain yang membuat dadanya terasa berbeda, perasaan bahwa akan ada sesuatu yang besar terjadi hari itu.

Suara ayam berkokok memecah kesunyian. Boy bangkit dari kasurnya yang tipis, mengucek mata, dan menatap jendela kecil yang menghadap kebun belakang. Embun masih menggantung di daun-daun bunga yang dirawat neneknya. Aroma tanah basah memenuhi udara dan angin pagi bertiup lembut.

Di dapur, neneknya sedang menyiapkan bubur jagung. Nenek menoleh ketika mendengar langkah Boy.

"Pagi, Nak."

"Pagi, Nek…" Boy duduk dan mengusap tengkuknya yang pegal.

"Kamu latihan lagi semalam?"

"Hm… Iya."

Nenek menghela napas lembut. "Kamu jangan terlalu memaksa tubuhmu, Boy."

"Kalau aku nggak latihan sekeras ini, aku nggak bakal bisa ngalahin mereka."

Nenek terdiam sejenak. Sorot matanya cemas, tapi juga bangga. "Yang penting kamu tetap ingat, kekuatan bukan segalanya. Hati yang bersih, itu yang bikin seseorang benar-benar kuat."

Boy tersenyum kecil. "Aku tahu, Nek."

Setelah sarapan, Boy berangkat ke sekolah bersama dua teman barunya, Tegar dan Danu. Mereka berdua sudah menunggu di depan pagar rumah nenek.

Tegar melambaikan tangan. "Boy! Ayo cepat! Kita telat kalau jalan pelan kayak kura-kura!"

Danu menepuk punggung Tegar. "Kamu saja yang bangunnya kesiangan."

Mereka bertiga tertawa kecil, dan Boy merasa hangat di dada. Dulu, ia tidak pernah merasakan apa itu berjalan ke sekolah dengan teman. Tidak pernah merasakan apa itu kebersamaan. Tapi sekarang, dunia rasanya lebih luas, lebih berwarna.

Namun hari itu, sesuatu terasa… salah.

Gangguan di Gerbang Sekolah

Sesampainya di sekolah, suasana terasa berbeda. Banyak murid berkumpul, berbisik-bisik. Di antara kerumunan, terlihat Rani —gadis pemalu yang diam-diam sering memperhatikannya, berdiri cemas sambil terus menatap ke arah gerbang.

Boy mendekat. "Rani? Ada apa?"

Rani tersentak seperti kucing yang terkejut. "A-ah! B-boy… i-ini… kamu lihat sendiri…"

Ia menunjuk ke gerbang sekolah.

Di sana, tiga anggota Garuda Hitam berdiri menunggu. Mereka terlihat lebih garang dari biasanya. Tatapan mereka lurus mengarah kepada Boy.

Tegar berdesis. "Hadeh, pagi-pagi udah nyari masalah."

Danu menelan ludah. "Sepertinya bukan cuma masalah biasa…"

Pemimpin kecil kelompok itu, Renco, salah satu murid senior yang paling sombong—melangkah maju sambil menyeringai.

"Akhirnya dateng juga, bocah yatim sialan."

Murid-murid lain langsung mundur beberapa langkah. Udara tegang.

Boy maju satu langkah. "Kamu mau apa?"

Rendi menyeringai. "Ada seseorang yang ingin bicara denganmu."

Dadanya bidang, ototnya kaku, dan tatapannya seperti pisau malam.

"Nama gue Lodra," katanya dengan suara rendah. "Dengar-dengar lo yang berani ngacak-ngacak Garuda Hitam?"

Boy mengerutkan kening. "Gue cuma ngebelain temen."

"Temen?" Lodra tertawa pendek, tapi tidak ada humor di matanya. "Anak kayak lo nggak punya temen."

Tegar langsung ingin maju, tapi Boy menahan lengannya.

"Kalau ada masalah, kita bisa omong baik-baik," Boy mencoba bersikap tenang.

"Omong baik-baik?" Lodra mendekat setengah langkah. Sorot matanya menghitam—gelap, seperti tidak menyisakan kemanusiaan. "Gue nggak tertarik ngomong. Tapi lo harus datang ke latihan Garuda Hitam nanti malam." pemimpin kami ingin bertemu dan menyelesaikan masalah ini.

Kerumunan murid makin ribut. Tegar memaki pelan.

Boy hanya diam. Ia tahu, menolak berarti memicu konflik lebih besar. Namun menerima undangan itu bisa jadi jebakan.

Melihat kebimbangan Boy, Lodra tersenyum puas. "Datanglah jam tujuh. Di gudang tua dekat aliran sungai."

Setelah mengatakan itu, Lodra berbalik dan pergi bersama anak buahnya.

Sekolah kembali ramai, tapi jantung Boy masih berdegup keras.

Pertemuan Rahasia

Saat istirahat, Boy duduk bersama Tegar, Danu, Lily, Sita, Rani, dan Badu. Mereka kini menjadi kelompok kecil yang cukup dekat. Meski sifat mereka berbeda-beda. Sita yang tomboy, Tegar yang tegas, Badu yang cerewet, Lily yang pemalu.

mereka sepakat satu hal: Boy sedang dalam bahaya.

"Boy, kamu nggak boleh ke sana!" Sita berseru. "Jelas-jelas itu perangkap!"

"Betul," Rani mengangguk. "Mereka nggak akan memanggilmu cuma buat ngobrol."

Tegar menepuk meja. "Kita rame-rame aja ke sana. Biar adil."

Danu menggeleng cepat. "Justru itu bikin situasinya tambah kacau."

Lily menatap Boy dalam-dalam. "Boy, kamu sendiri gimana?"

Boy menarik napas. "Aku… harus datang."

"APA?!" semua berseru bersamaan.

"Aku nggak bisa sembunyi terus. Lagipula… kalau pemimpin mereka ingin bicara, pasti ada alasannya."

Rani akhirnya angkat suara dengan lirih, "Tapi… kalau kamu kenapa-kenapa…?"

Boy menatap Rani, melihat ketulusan dalam sorot matanya. Untuk sesaat, hatinya terasa hangat.

"Aku akan baik-baik saja."

Meski tidak semua percaya, mereka hanya bisa berharap.

Gudang Tua

Langit sudah gelap saat Boy melangkah menuju gudang tua di pinggir sungai. Angin malam bertiup dingin, membuat pepohonan berdesir seperti bisikan.

Namun Boy tidak datang sendirian.

Dari kejauhan, Tegar dan Danu mengawalnya dari belakang, bersembunyi di balik semak. Tidak ingin terlihat, tapi juga tidak ingin membiarkan Boy menghadapi bahaya seorang diri.

Gudang itu besar, kayunya lapuk, dan pintunya terbuka sedikit. Cahaya api dari obor menyembul keluar.

Dengan hati-hati, Boy melangkah masuk.

Di dalam, puluhan anggota Garuda Hitam duduk melingkar. Di tengah mereka berdiri, bersama seorang lelaki besar yang duduk di kursi kayu dengan aura yang menekan.

Dialah pemimpin Garuda Hitam.

"Selamat datang… Boy."

Suara lelaki itu berat dan dalam.

"Kita bertemu lagi" Ucapnya.

Nama itu menggema sampai ke dada Boy. Ia menelan ludah.

"Ada alasan kenapa kau memanggilku?"

"Tentu." Master Ruyak. "Aku ingin tahu siapa yang punya keberanian menantang anak buahku."

Boy mengepalkan tangan. "Aku nggak menantang siapa-siapa. Aku cuma..."

"Tutup mulutmu."

Suasana langsung beku.

"Anak seperti kau… anak yatim, nakal, tak punya arah… Itu jenis manusia yang paling mudah dipatahkan."

Boy merasakan amarah membakar dadanya, tapi ia tetap diam.

Master Ruyak melangkah mendekat, menatap Boy dari atas.

"Aku butuh orang kuat di pihakku. Dan kau punya potensi."

Boy kaget. Itu hal terakhir yang ia duga.

"Masuklah ke Garuda Hitam. Kau akan dapat kekuatan, perlindungan, dan kehormatan."

Boy menggeleng. "Tidak."

Para anggota Garuda Hitam langsung ribut.

Master Ruyak tersenyum tipis, tapi matanya terlihat berbahaya.

"Dan kalau kau menolak, anak-anak itu…" ia menoleh ke jendela, "…teman-teman barumu… mungkin tidak akan selamat."

Tegar dan Danu yang diam-diam mengintip langsung menahan napas.

Boy mengepalkan giginya. "Jangan libatkan mereka!"

"Aku bisa melibatkan siapa saja yang kubilang. Jadi ini keputusanmu."

Master Ruyak mendekat hingga wajahnya hanya sejengkal dari Boy.

"Masuk… atau hancur."

Jantung Boy berdetak liar. Dunia seakan mengecil. Udara menekan dadanya kuat.

Namun… sesuatu bergerak dalam dirinya. Sesuatu yang ia pelajari dari Master Raga.

Ketakutan adalah bayangan. Bayangan hanya bisa hilang ketika kau melangkah ke arah cahaya.

Boy menatap langsung ke mata Master Ruyak.

"Aku… tidak takut padamu."

Gedebuk!

Master Ruyak meninju lantai tepat di samping kaki Boy. Kayu lantai retak.

Suasana langsung meledak.

"BERANI SEKALI KAU!"

Boy bersiap. Lodra maju. Puluhan anggota berdiri.

Tapi tiba-tiba...

Braaak!

Pintu gudang terbuka dengan keras.

Sosok tua berjubah putih berdiri di depan pintu dengan tongkat kayu.

Master Raga.

Tatapannya tajam bagai mata elang.

"Cukup," katanya dengan suara tegas yang bergema seperti guntur. "Jika ada yang menyentuh muridku… aku akan menghancurkan seluruh tempat ini."

Semua anggota Garuda Hitam membeku.

Master Ruyak menegang, wajahnya berubah kelam.

Boy merasa napasnya kembali.

Dan malam itu menjadi awal dari permusuhan yang jauh lebih besar.

Permusuhan yang akan mengubah hidup Boy selamanya.

​"Sekembalinya dari gudang Garuda Hitam, Master Raga akhirnya mengungkapkan alasan di balik perubahan namanya menjadi 'Guru Darma'.

​Ia tidak ingin warga desa mengetahui identitas aslinya. Di mata orang-orang, Master Raga telah lenyap sejak sepuluh tahun silam tanpa jejak maupun alasan yang jelas.

​Ia tak ingin kembali pada kehidupan masa lalunya. Kini, yang ia dambakan hanyalah ketenangan—hidup tanpa kekuasaan dan tanpa keterlibatan dengan siapa pun."

Boy kembali bertanya kepada Master Raga, "Dari mana Kakek tahu kalau aku pergi ke markas Garuda Hitam?"

​"Temanmu yang memberi tahu Kakek kalau kamu mau bertemu dengan Garuda Hitam," jawab Master Raga tenang. "Sudahlah, ini sudah larut malam. Nanti kamu terlambat bangun pagi."

​"Baik, Kek," jawab Boy singkat.

More Chapters