Keesokan Pagi — Latihan Baru
Udara pagi begitu segar ketika Boy tiba di halaman rumah Master Raga. Badu,Tegar dan Danu sudah menunggu di sana. Keduanya ingin mengawalnya, tapi Master Raga berkata mereka juga boleh belajar, walau hanya dasar.
"Kalian berdua," Master Raga berbicara sambil merapikan tongkatnya, "latihan kalian tetap pada dasar pernapasan dan kelenturan."
"Astaga," Badu mengeluh. "Kapan kami bisa belajar tendangan terbang atau jurus petir?"
"Jika dasar kalian kuat, kalian bisa melakukan apa pun," jawab Master Raga.
Danu menepuk paha Badu. "Udah, terima aja."
Master Raga kemudian berbalik pada Boy.
"Kau, mari di sini."
Boy berdiri tegak.
"Teknik Angin Dalam bukan teknik menyerang. Ini teknik mengendalikan aliran energi di tubuhmu. Jika kau bisa menguasainya, kekuatanmu akan meningkat bukan dari ototmu, tapi dari kendali napasmu."
Master Raga duduk bersila. Boy mengikuti.
"Tarik napas… perlahan… rasakan angin memasuki tubuhmu. Dengarkan. Jangan paksa."
Boy memejamkan mata dan mencoba mengikuti.
Pada awalnya ia hanya mendengar suara daun. Lalu suara sungai. Tapi kemudian…
Wuuush… wuuush…
Ia mendengar sesuatu seperti hembusan angin dari dalam tubuhnya sendiri.
Boy terkejut dan membuka mata.
"Master! Aku… aku mendengarnya!"
Master Raga tersenyum bangga.
"Bagus. Itu langkah pertama. Kau memiliki bakat besar, Boy."
Tegar dan Danu terlonjak.
"WOI, CEPET BANGET!"
Boy merasa bangga, tapi juga semakin takut. Karena setiap kekuatan baru berarti tanggung jawab baru.
"Dan Boy masih mengingat kejadian semalam saat Master Raga datang menyelamatkannya dari Master Ruyak dan Garuda Hitam di gudang tua itu."
Boy, yang berdiri di tengah lingkaran itu, merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya:
perlindungan.
Master Raga melangkah masuk, tongkatnya mengetuk lantai kayu yang retak. Suara ketukannya seperti palu bagi para penjahat itu.
"Kalian semua berani menyentuh muridku," katanya pelan. "Kalian pikir aku akan diam?"
Master Ruyak berdiri perlahan. Tubuh besar itu menegang, dan ia menatap Master Raga dengan mata merah penuh kebencian.
"Jadi bocah ini muridmu?" suara Master Ruyak serak.
"Ya," jawab Master Raga. "Dan aku tidak akan membiarkan kau merusaknya."
Beberapa anggota Garuda Hitam saling pandang. Walau penampilan Master Raga sederhana—jubah putih lusuh, tongkat kayu tua,auranya begitu besar, begitu penuh tekanan, hingga membuat para pemuda itu terpaksa menahan napas.
Master Ruyak menggeram rendah. "Sudah lama aku ingin bertemu orang tua ini… legenda yang katanya menghilang dari dunia persilatan."
Master Raga tersenyum tipis. "Kau banyak bicara, Ruyak. Tapi tak satupun kata-katamu mengandung kebijaksanaan."
Master Ruyak mendekat satu langkah.
"Dunia ini sudah berubah. Hukum rimba yang berlaku. Yang kuat yang menang."
"Dan di situlah kesalahanmu," Master Raga membalas dengan tenang. "Kau mengira kekuatan hanya ada di otot dan tinju. Tapi kekuatan sejati… ada pada hati yang tidak goyah."
Boy merinding. Ia merasa sedang menyaksikan dialog antara dua gunung yang saling menatap tanpa gentar.
Kedua tokoh itu sama-sama berbahaya. Tapi satu penuh kegelapan, satu penuh keteduhan.
Master Ruyak akhirnya tersenyum miring. "Baiklah. Malam ini bukan waktunya. Tapi dengar ini, Boy."
Master Ruyak menoleh padanya, tatapannya seperti dua bara api.
"Pilihanmu tadi… akan kau sesali nanti."
Ia melangkah pergi, diikuti semua anggota Garuda Hitam. Lodra sempat menatap Boy dengan penuh ancaman sebelum meninggalkan gudang.
Ketika semua pergi, barulah Boy merasakan lututnya melemah.
Master Raga memegang bahunya.
"Ayo pulang, Boy."
Di Bawah Cahaya Bulan
Boy berjalan berdampingan dengan Master Raga menyusuri jalan setapak di pinggir sungai. Air mengalir perlahan, memantulkan cahaya rembulan yang tampak seolah mengambang di permukaan.
Untuk beberapa menit mereka hanya diam. Suara jangkrik dan hembusan angin menjadi satu-satunya peneman.
"Master," Boy akhirnya berkata. "Apa aku membuat semuanya jadi lebih buruk?"
Master Raga tersenyum lembut. "Tidak, Boy. Justru sebaliknya."
"Tapi… aku menolak tawaran mereka, dan sekarang mereka akan mengincar teman-temanku."
"Dan kau ingin melindungi mereka, bukan?"
"Ya…"
"Nah," Master Raga menatapnya dalam-dalam. "Di situlah kekuatanmu. Kau belajar kungfu bukan untuk membuktikan apa pun, tapi untuk melindungi."
Boy terdiam.
Master Raga melanjutkan, "Ruyak bukan orang biasa. Ia pernah menjadi murid perguruan besar, tapi hatinya gelap. Ia mengejar kekuatan dengan cara apa pun, bahkan jika itu harus menyakiti orang lain."
Boy menelan ludah. "Berarti… aku tidak akan pernah cukup kuat untuk melawannya?"
Master Raga berhenti berjalan. Ia menatap rembulan yang menggantung tinggi.
"Kekuatan tidak datang dalam semalam, Boy. Tapi keberanianmu… itu sudah ada sejak lama."
Master Raga memegang bahu Boy dengan lembut.
"Aku akan mengajarimu teknik baru mulai besok. Teknik yang hanya diberikan pada murid yang siap."
Boy terpana. "Teknik apa, Master?"
Master Raga tersenyum samar. "Teknik Angin Dalam."
Nama itu seperti bergema di udara. Entah kenapa, jantung Boy berdetak kencang mendengarnya.
Bayangan di Atas Bukit
Sementara itu, di bukit dekat desa, Master Ruyak berdiri dengan tangannya bersedekap. Lodra datang mendekat sambil menunduk.
"Pemimpin," katanya pelan. "Kenapa kita membiarkan mereka pergi semalam? Kita bisa menangkap bocah itu saat itu juga."
Master Ruyak tidak menjawab. Angin berhembus dan jubah hitamnya berkibar.
" Raga…" Master Ruyak dengan suara penuh kebencian. "Orang tua itu belum berubah."
Ia mengepalkan tinjunya.
"Dia menghalangi jalanku dua belas tahun lalu. Dan sekarang… muridnya akan kubuat menderita seperti aku dulu."
Lodra menelan ludah. Ia belum pernah melihat pemimpinnya seseram ini.
"Kumpulkan semua anggota. Kita akan mempercepat rencana."
"Rencana apa, Pemimpin?"
Master Ruyak tersenyum kejam.
"Kita akan merebut Monument Angin Hitam."
Lodra berkedip bingung. "Tapi itu… tempat keramat desa!"
"Justru itu."
Master Ruyak menatap ke arah desa, matanya berkobar seperti api gelap.
"Jika kita menguasainya, kita akan menguasai seluruh desa… dan tidak ada yang bisa menghentikan kita. Termasuk Master Raga."
Angin malam tiba-tiba berubah lebih dingin. Seperti pertanda dari sesuatu yang jauh lebih besar, jauh lebih berbahaya.
Dan Boy… tanpa ia tahu… kini berada tepat di tengah badai yang akan segera mengguncang seluruh desa.
