Cherreads

Chapter 11 - Bab 11 — Jejak Tersembunyi di Balik Hening

Kabut pagi menggantung rendah di Desa Gunung Aruna, menelusup di antara rumah-rumah kayu dan rumpun bambu yang berderit perlahan diterpa angin. Desa itu tampak tenang, jauh lebih tenang dibandingkan dengan hati Boy yang penuh tanda tanya.

Tiga hari telah berlalu sejak ia lolos dari serangan orang bertopeng misterius—seseorang yang jelas bukan bagian dari perkumpulan Garuda Hitam. Lelaki itu menyerangnya bukan sebagai pengganggu… tapi sebagai seseorang yang sedang menguji kemampuan Boy. Mengukur. Menilai.

Dan yang paling membuat Boy gelisah adalah kata-kata Master Raga pada malam setelah kejadian itu:

"Lawanmu itu bukan murid Garuda Hitam. Dia… seseorang yang dulu pernah mengenal ayahmu."

Sejak itu, Boy tidak bisa tidur nyenyak.

Pagi itu, seperti biasa, ia bersiap menuju pondok latihan. Badu dan Danu sudah berada di persimpangan, menunggunya sambil membawa makanan ringan.

"Boy! Kau telat satu menit hari ini!" seru Badu sambil menunjuk matahari seolah sedang menghitung detik.

Danu menghela napas kecil. "Itu tidak penting, Badu…"

"Tapi bagi petarung sejati, satu menit bisa menentukan hidup-mati!"

Boy hanya tertawa kecil. "Belajar teori dari buku lagi ya kamu?"

Danu mengangkat alis bangga. "Tentu saja. Aku sudah membaca semua buku beladiri di perpustakaan desa! Kecuali yang halaman pertamanya hilang…"

Mereka berdua mulai berdebat tentang buku, dan Boy hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. Namun senyumnya memudar ketika ia melihat sosok yang sudah berdiri menunggunya di depan pondok latihan.

Master Raga.

Dengan wajah tegang.

Dan di sampingnya… Rani.

Rani berdiri dengan kedua tangan meremas ujung bajunya, wajahnya pucat. Ketika Boy mendekat, mata Rani langsung menatapnya—mata yang penuh rasa gelisah yang selama ini ia sembunyikan di balik senyuman malu-malu.

"Boy…" suaranya lirih, "kamu gak apa-apa? Aku dengar kamu… diserang lagi."

Boy tersentak. "Dari siapa kau dengar?"

Rani menunduk. "E… dari Sita. Dia melihat lukamu waktu kamu ke sungai."

Boy langsung menghela napas panjang. Sita memang tidak pandai merahasiakan sesuatu.

"Rani, aku baik-baik saja kok. Serius."

Tapi Rani tak percaya. Ia maju setengah langkah, hampir seperti ingin memeriksa tubuh Boy satu per satu, lalu berhenti tepat sebelum jarak mereka terlalu dekat.

"Boy, aku…" Rani menggigit bibirnya. "Aku takut sesuatu terjadi padamu."

Badu langsung berbisik ke Danu, "WAH! Ini momen besar!"

Danu menepuk kepala Badu. "Diam."

Master Raga memberi isyarat kepada keduanya untuk menjauh. Setelah itu ia memanggil Boy agar masuk ke dalam pondok.

"Boy. Kita perlu bicara."

Pondok latihan terasa berbeda hari itu. Dupa tidak menyala. Tirai bambu ditutup rapat. Dan Master Raga duduk dengan sikap yang sangat serius, lebih serius daripada saat ia mengajarkan tinju baja atau teknik kuda kembar.

"Boy," katanya tanpa basa-basi, "aku telah mengirim pesan ke seseorang yang seharusnya bisa menjelaskan tentang musuhmu itu."

Boy menelan ludah. "Siapa… seseorang itu?"

Master Raga memejamkan mata. "Sahabat lama ayahmu."

Jantung Boy berdegup keras.

Ayah.

Kata itu sendiri sudah cukup untuk membuatnya terdiam. Ia tak pernah benar-benar mengenal sosok itu. Yang ia tahu hanyalah potongan cerita dari neneknya: ayahnya adalah seorang pengembara, pendiam, kuat, dan meninggal sebelum Boy bisa mengingat wajahnya.

Master Raga melanjutkan.

"Pertemuannya akan berlangsung malam ini, di tepi sungai kecil di selatan desa. Tapi… sebelum itu, aku ingin kau mendengar sesuatu."

Master Raga berdiri lalu mengambil benda yang sudah lama disimpan dalam kotak kayu, sebuah gulungan kain tua bertuliskan simbol naga emas.

"Ini… milik ayahmu."

Boy terbelalak.

Gulungan itu tampak lusuh, namun simbol naga emasnya masih bersinar samar.

"Ayahmu adalah murid dari perguruan yang sudah lama hilang," lanjut Master Raga. "Perguruan Naga Samudra. Dan orang yang menyerangmu kemarin… dia adalah mantan murid dari perguruan yang sama."

"Kenapa dia menyerangku?"

"Untuk mengukur kekuatanmu. Dan mungkin… untuk memastikan sesuatu."

"Sesuatu?" Boy bertanya pelan.

"Ya. Sesuatu yang berhubungan dengan alasan perguruan itu menghilang."

Boy menggenggam kain itu. Rasanya hangat. Aneh, seperti ada aliran lembut yang menyusup ke tangannya.

Sebelum Master Raga melanjutkan penjelasan, tirai bambu bergetar.

KREEEET…

Sita muncul sambil membawa dua bungkusan nasi.

"Master," katanya santai, "aku bawakan makanan buat...eh?"

Ia melihat Boy memegang gulungan naga emas. Mata Sitamelebar.

"Itu apa?"

Boy ingin menjawab, tapi Master Raga memberi isyarat agar ia diam.

"Sita," kata Master Raga, "kembalilah lain kali."

Sita mendengus. "Hmph, baiklah."

Namun sebelum ia pergi, matanya bertemu mata Boy.

"Aku ikut malam ini."

Boy kaget. "Tara! Kau..."

"Aku tidak tanya izinmu."

Kemudian ia melangkah pergi, rambutnya yang terikat tinggi melambai bak ekor kucing yang sedang kesal.

Boy memijat pelipisnya. "Dia keras kepala sekali…"

Master Raga hanya menghela napas. "Anak itu… lebih tahu daripada yang ia tunjukkan."

Boy hendak bertanya, tapi Badu dan Danu tiba-tiba masuk dengan panik.

"BOY!! BERITA BURUK!!" Badu berteriak.

Danu menambahkan, "Ada seseorang dari kelompok Garuda Hitam yang pingsan di dekat gerbang desa!"

Master Raga berdiri mendadak. "Apa?!"

"Dan… dan dia membawa pesan buat Boy…"

Boy tertegun.

"Bawa aku ke dia," katanya.

Mereka berlari ke gerbang desa. Di sana, seorang pemuda Garuda Hitam berbaring di atas tikar darurat, tubuhnya penuh luka dan lebam parah. Topengnya retak, memperlihatkan sebagian wajahnya yang masih muda.

Pemuda itu melihat Boy mendekat, matanya melebar.

"K… kau… Boy?"

Boy berlutut. "Apa yang terjadi?"

"Sa… seseorang… menyerang markas kami…" Pemuda itu terbatuk, darah muncul di sudut mulutnya.

"Siapa?"

Pemuda itu perlahan mengangkat tangan, menunjuk Boy… lalu menggenggam pakaian Boy dengan sisa tenaga terakhirnya.

"Dia… mencari kau…"

Desanya seakan membeku.

Pemuda itu mencoba bicara lagi… namun tubuhnya jatuh lemas.

Boy membeku.

Danu terpaku.

Badu menutup mulutnya.

Sita, yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakang, memucat.

Rani menahan napas di kejauhan.

Master Raga berbisik dengan suara rendah yang penuh kekhawatiran.

"…Dia akhirnya bergerak."

Boy merasakan suara itu menggema hingga ke tulang.

Di kejauhan, kabut mengumpul, membentuk siluet gelap yang bergerak mendekati desa.

Entah siapa pun sosok itu…

Ia datang mencari Boy.

More Chapters