Pagi itu matahari baru merayap naik, sinarnya menembus garis pegunungan dan jatuh tepat di halaman rumah kecil tempat Boy tinggal bersama neneknya. Udara masih dingin, embun masih menempel di daun, dan ayam-ayam baru saja mulai berkokok. Namun Boy sudah berdiri dengan kedua tangan terkepal, napasnya berat karena latihan yang ia lakukan sejak sebelum fajar.
Ini sudah menjadi kebiasaan barunya setelah kejadian kemarin—setelah ia resmi meminta Master Raga untuk melatihnya. Tubuhnya masih terasa pegal, terutama bagian lengan dan betis, tapi semangatnya tidak pudar sedikit pun.
"Boy…" Suara neneknya pelan, keluar dari balik pintu kayu. "Sarapan dulu. Jangan terlalu memaksa diri."
Boy mengangguk sambil tersenyum, meski keringat menetes dari dagunya. "Iya, Nek… habis ini."
Neneknya tersenyum lembut, tapi mata tuanya menunjukkan kekhawatiran. Boy tahu neneknya selalu takut ia terluka, apalagi semenjak ia kecil sering membuat masalah dan jadi sasaran bully. Namun sekarang, tekad Boy berbeda. Ia tidak lagi berlatih untuk melawan geng garuda hitam saja—ia berlatih untuk menjadi lebih kuat dari dirinya sendiri.
---
Ketika Boy sampai ke rumah Master Raga, ia menemukan laki-laki tua itu sedang duduk bersila sambil menutup mata, seolah menyatu dengan udara sekitar. Rumput di sekelilingnya tidak tergoyang, tidak ada suara burung lewat, dan entah mengapa Boy merasa seolah waktu di tempat itu berjalan lebih lambat.
"Master!" Boy membungkuk dengan hormat seperti yang diajarkan.
Master Raga membuka mata perlahan. "Datang tepat waktu. Bagus. Kau mulai menunjukkan kedisiplinan."
Boy tersenyum bangga.
Namun kebanggaannya lenyap ketika Master Raga mengarahkan telunjuk ke batu besar setinggi pinggang yang terletak tidak jauh dari pondok latihan.
"Hari ini kita mulai dari dasar paling penting dalam kungfu—keseimbangan energi. Kau akan berdiri di atas batu itu. Sepanjang sesi. Tanpa turun."
Boy menelan ludah. "T-Tanpa bergerak sama sekali, Master?"
"Tanpa turun," Master Raga menegaskan. "Gerak boleh, asal tidak jatuh. Kau jatuh, kita ulang dari awal."
Boy baru saja naik ke atas batu itu ketika suara langkah tergopoh terdengar dari dalam semak-semak.
"BOOOOY!!"
Badu muncul sambil melambaikan tangan, diikuti Lily yang berjalan dengan langkah anggun namun matanya meneliti kondisi Boy dengan penuh ketertarikan.
"Kau sudah mulai ya?" ujar badu.
Boy hanya sempat mengangguk sebelum kehilangan keseimbangan. Tubuhnya miring ke kanan, ia berusaha menahan, tapi—
BRUK!
Ia jatuh ke tanah.
Master Raga mengangkat alis. "Kita ulang."
Boy mengeluh dalam hati.
---
Latihan keseimbangan itu ternyata jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan. Batu itu licin. Angin kencang mulai bertiup. Dan dua temannya tidak berhenti memberikan komentar yang tidak membantu.
"Coba kakinya dipisah sedikit," kata Lily sambil memiringkan kepala.
"Jangan kaku begitu! Tubuhmu seperti papan!" teriak Badu sambil tertawa.
Boy ingin membalas keduanya, tapi Master Raga berdiri di belakangnya seperti patung batu. Jadi ia hanya menahan diri, fokus pada napas dan posisi.
Untuk sementara, ia berhasil bertahan.
Namun suara langkah kuda dari luar halaman membuat konsentrasinya kembali buyar.
"Tunggu, itu… suara siapa?" Badu mengerutkan dahi.
Tidak lama, lima orang berkuda berhenti di depan pagar bambu. Mereka semua mengenakan pakaian seragam kungfu warna hitam dengan emblem kepala harimau perak di dada. Orang-orang desa menyebut mereka: Harimau Baruna—kelompok kungfu elit yang sering bekerjasama dengan kepala desa untuk urusan keamanan.
Dan di depan rombongan itu, mangayuh kudanya dengan elegan… adalah Rani.
Gadis pemalu itu menatap Boy dengan gugup, lalu menunduk dalam-dalam.
"A—Aku… m-maaf datang tiba-tiba," katanya, suaranya kecil tapi terdengar jelas.
Boy terpeleset turun dari batu karena terkejut.
"Haahhhh… Boy," Master Raga mengusap wajahnya.
---
Rani turun dari kudanya, langkahnya pelan. Pipi gadis itu merah ketika ia mendekati Boy.
Rani menggenggam tangannya gugup. "Dan aku… mendengar kau mulai berlatih kungfu di sini. Itu… luar biasa."
Boy menggaruk-garuk kepalanya, merasa canggung. "Ah… iya. Aku cuma… eeh… ya, belajar."
Badu dan Lily saling menyikut di belakang.
Master Raga berdiri mendekat. "Rani, aku menghormati kehadiranmu. Namun Boy sedang berlatih. Apakah ada sesuatu yang penting membawa Harimau Baruna ke tempat terpencil seperti ini?"
Kelima pendekar itu menunduk dalam hormat.
Pemimpinnya menjawab, "Kami datang karena… ada laporan bahwa Garuda Hitam semakin berani. Mereka memukul dua anak desa tadi pagi di pasar."
Boy mengepalkan tangan. "Lagi-lagi mereka…"
Pemimpin Harimau Baruna melanjutkan, "Kami juga mendapat informasi bahwa mereka berniat balas dendam pada anak ini."
Ia menatap Boy.
Boy membeku.
"B-boy? Kenapa mereka?" tanya Rani panik.
Master Raga menatap Boy dengan dalam. "Karena dia menantang mereka. Dan karena dia punya potensi yang mereka takuti."
Badu melotot bangga. "Kau dengar itu?! BOY PUNYA POTENSI—"
Master Raga mengayun tongkat kayu ke arah Badu sebelum pemuda itu sempat menyelesaikan kalimatnya—dan Badu langsung terdiam.
"Latihan hari ini selesai," ujar Master Raga. "Boy, ikut aku."
---
Di dalam pondok kecil itu, Master Raga duduk bersila. Boy duduk di depannya.
"Boy… Kau harus mengerti. Jalan yang kau pilih bukan lagi permainan anak-anak. Ketika kau melawan Garuda Hitam, kau sudah menarik perhatian orang yang lebih berbahaya daripada kau bayangkan."
Boy menelan ludah. "Aku… tahu. Tapi aku tidak bisa diam saja ketika mereka menyakiti orang lain."
Master Raga tersenyum tipis. "Dan itulah alasan aku mau melatihmu."
Boy mengangkat kepala.
"Kekuatan bukan hanya dipakai untuk melawan, Boy. Tapi untuk melindungi. Kau ingin melindungi nenekmu. Teman-temanmu. Anak-anak desa. Dan… mungkin seseorang yang memperhatikanmu diam-diam."
Wajah Boy memerah. "M-Master…"
"Mulai hari ini, latihanmu akan lebih berat dari sebelumnya. Tubuhmu akan sakit, pikiranmu akan lelah, dan ada saat di mana kau ingin menyerah. Tapi kalau kau ingin mengalahkan Topeng Baja… bahkan jika suatu hari mereka datang menyerang desa ini… maka kau harus menjadi lebih kuat dari rasa sakit itu."
Boy mengepalkan tangan. "Aku akan melakukannya, Master."
Master Raga mengangguk puas.
"Kita mulai besok. Sangat pagi. Bahkan matahari pun belum siap ketika kita mulai."
Boy menelan ludah. Lagi.
---
Sore hari, ketika Boy pulang bersama Badu dan Lily, Rani tiba-tiba berlari mengejar mereka.
"Boy! T-Tunggu!"
Boy menghentikan langkah. "Ada apa?"
Rani berhenti dengan napas terengah. Ia membuka tas kecilnya, lalu mengeluarkan selembar kain putih yang tersulam rapi.
"Aku… membuatkan ini. Ini untuk membalut tanganmu kalau terluka saat latihan."
Boy menerima kain itu dengan hati-hati, seolah itu benda paling berharga di dunia.
"T-terima kasih," katanya dengan suara rendah.
Rani tersenyum malu. "Semoga kau segera menjadi kuat… Aku percaya padamu, Boy."
Lalu ia berlari kembali ke rombongan Harimau Baruna sambil menunduk, wajahnya merah padam.
Badu dan Lily menatap Boy seperti mau meledak.
"BOY—APA KAU—"
"Diam," Boy mendahului mereka.
Tapi ia tidak bisa menghentikan senyum kecil yang muncul di sudut bibirnya.
---
Malam itu, ketika bulan menggantung tinggi dan suara serangga memenuhi udara, Boy duduk sendirian di halaman rumah. Ia menatap kain pemberian Rani, kemudian mengepalkan tangannya.
Untuk nenek… untuk teman-temanku… untuk orang-orang yang percaya padaku… aku harus kuat.
Namun saat ia menatap ke pegunungan di utara desa, ia merasakan sesuatu. Entah apa itu. Semacam kehadiran gelap yang menunggu. Mengintai.
Seolah malam itu membawa pesan:
Musuhmu yang sebenarnya belum muncul.
Dan perjalananmu baru saja dimulai.
