Cherreads

Chapter 3 - BAB 3 — TEROR DARI GARUDA HITAM

Sore itu, setelah kejadian di lapangan belakang, Boy berjalan terpincang-pincang pulang melewati jalan setapak di pinggir sungai. Matahari sudah tenggelam setengah, mewarnai langit dengan semburat oranye keemasan. Angin sore menyapu daun-daun bambu yang saling bergesekan, menghasilkan suara lirih yang biasanya menenangkan—namun tidak hari itu.

Tubuh Boy penuh memar. Bibirnya pecah, punggungnya sakit, perutnya perih setiap kali ia bernapas. Tapi entah kenapa, ia tidak merasa kalah. Ia justru merasakan sesuatu yang berbeda… ada semacam api kecil yang menyala di dadanya.

Kata-kata Darma berputar dalam pikirannya.

"Anak ini punya nyali harimau."

Boy mengusap darah di sudut bibirnya dan tersenyum pahit. Ia tidak pernah merasa ada yang bangga padanya. Tidak guru, tidak warga desa, tidak teman-teman. Hanya neneknya… dan sekarang, entah kenapa, seorang kakek asing yang melihat sesuatu dalam dirinya.

Namun sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, suara langkah kaki berat terdengar di belakangnya.

Boy menoleh. Tiga anak laki-laki dari Garuda Hitam muncul dari semak-semak, dengan wajah penuh amarah dan dendam.

"Kamu kira selesai?" salah satu dari mereka, yang bermuka bulat dengan bekas luka di pipi, mendesis.

Boy mundur sedikit. "Gua nggak lagi nyari ribut."

Satu anak lain, lebih tinggi, mengangkat tongkat bambu. "Sayangnya kami nyari."

Boy menghela napas. "Tiga lawan satu? Curang banget."

Anak itu menyeringai. "Curang bagi yang lemah."

Mereka maju hampir bersamaan. Boy bersiap lari, tapi salah satu menangkap kerah bajunya, menariknya kuat-kuat. Boy menendang, tapi kakinya ditahan. Pukulan menghantam punggungnya. Boy jatuh ke tanah, tubuhnya berputar menahan rasa sakit.

"Ini balas dendam buat bikin malu Rendy!" teriak salah satu dari mereka sambil menendang kaki Boy.

Boy mengerang keras.

Namun meski tubuhnya hancur, Boy tetap berusaha melawan. Ia meninju lutut salah satu anak itu. Anak tersebut memaki dan menendang lebih keras.

"Anak kampung sialan!"

"Mati aja kau!"

Tendangan demi tendangan mendarat di punggung, perut, lengan. Boy merasakan pandangannya mulai buram. Tapi di tengah semua itu, sebuah bayangan muncul di belakang mereka.

Suara berat dan dalam terdengar.

"Persamaan nomor satu dalam kungfu: jangan menyerang yang sudah tidak bisa berdiri."

Anak-anak itu menoleh. Guru Darma berdiri dengan tongkat kayu panjang, tatapannya tajam seperti elang.

Mereka terdiam.

"Pergi," kata Darma pelan.

Namun mereka bukannya takut, malah menantang.

"Ini urusan kami, Kakek!"

Darma menghela napas panjang. "Anak-anak zaman sekarang memang keras kepala."

Dalam sekejap, Darma bergerak. Ia tidak memukul kuat—hanya memukul titik-titik tertentu di bahu dan lutut mereka. Hanya tiga kali gerakan.

TAP! TAP! TAP!

Dan ketiganya langsung berteriak kesakitan, lutut melemas, tubuh runtuh ke tanah.

"Apa yang kamu lakukan?!"

"Hanya menekan titik lemah. Besok juga sembuh," jawab Darma santai.

Anak-anak itu merangkak bangkit dan kabur terbirit-birit.

Darma kemudian berlutut di samping Boy. "Kamu bajingan keras kepala," katanya sambil mengangkat tubuh Boy.

Boy meringis. "Hehe… gua cuma… nggak mau kalah."

"Ini bukan tentang kalah atau menang. Ini tentang hidup dan mati."

Darma membantu Boy berdiri dan menuntunnya berjalan. Boy tidak menolak. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasa aman di dekat seseorang selain neneknya.

---

Rumah Darma berada di pinggir hutan bambu, tidak jauh dari sungai. Bangunannya sederhana, kayu tua, dan dindingnya dihiasi gulungan kain bertuliskan kaligrafi aneh. Aroma herbal memenuhi udara.

Darma menurunkan Boy di atas matras dan mulai meracik ramuan herbal. Tangan Darma meski tua, namun gerakannya halus dan terlatih—seperti seseorang yang telah melakukannya ribuan kali.

"Buka bajumu," kata Darma.

Boy mengangkat alis. "Hah?"

Darma menatapnya tajam. "Memangnya kamu mau tidur dengan memar sebesar itu?"

Boy menggerutu sambil membuka kaus lusuhnya. Tubuhnya penuh memar biru keunguan. Bahkan Darma sedikit terkejut.

"Kamu dipukuli parah," gumamnya.

"Udah biasa."

"Jangan biasakan. Tubuh itu punya batas."

Darma mengoleskan ramuan hijau ke punggung Boy. Rasanya panas, tapi kemudian berubah menenangkan, seperti menyerap masuk ke kulit dan menghilangkan rasa nyeri.

Boy mendesis. "Aduh, panas banget…"

"Itu artinya bekerja."

Darma membalut beberapa bagian tubuh Boy dengan kain herbal, lalu duduk bersila di depannya.

"Kamu tahu kenapa Garuda Hitam mengejarmu?" tanya Darma.

"Karena gua mukul orang mereka."

"Bukan hanya itu."

Boy mengernyit.

Darma menatapnya dalam-dalam. "Rendy dan anak-anak Garuda Hitam itu terbiasa berada di puncak. Tidak ada yang berani melawan mereka. Kamu adalah anomali."

"Anoma… apa?"

"Pengecualian," jelas Darma. "Anak sepertimu tidak seharusnya berani. Tapi kamu berani. Itulah yang mereka benci."

Boy terdiam.

"Kamu melawan meski tahu akan kalah. Kamu berdiri meski sudah jatuh berkali-kali. Kamu yakin itu hal kecil?"

Boy menunduk. "Semua orang nganggep gua cuma pembuat masalah."

Darma tersenyum tipis. "Itu karena mereka tidak melihat potensimu."

"Potensi?"

"Ya." Darma menunjuk dada Boy. "Di dalam dirimu ada sesuatu yang… menarik perhatian banyak orang. Kamu punya amarah, keberanian, dan tekad. Jika semua itu dilatih, kamu bisa jadi pendekar hebat."

Boy tertawa kecil. "Gua? Pendekar? Kakek bercanda ya?"

Darma menggeleng. "Kamu punya insting alami. Naluri bertahan hidup yang kuat. Dan satu hal yang jarang dimiliki anak seusiamu."

"Apa?"

"Keteguhan hati."

Boy menatapnya lama. Kata-kata itu tidak pernah ia dengar dari siapapun sebelumnya. Bahkan gurunya di sekolah tak pernah bicara sebaik itu tentang dirinya.

"Boy," kata Darma, "Bagaimana kalau mulai besok kamu datang ke sini setelah sekolah? Aku akan mengajarimu cara bertarung."

Boy tercengang. "Guru kungfu?"

"Kalau kamu mau, tentu saja."

Boy terdiam cukup lama. Di kepalanya, bayangan Rendy dan anak-anak Garuda Hitam menghantuinya. Ia tidak ingin terus kalah. Ia tidak ingin terus dihajar. Dan ia ingin melindungi orang-orang yang tanpa ia sadari mulai peduli padanya—Rani, Sita, Badu, Lily… dan tentu, neneknya.

Boy mengepalkan tangan. "Aku mau belajar."

Darma tersenyum. "Mulai besok, kamu bukan lagi Boy Satria si pembuat masalah. Kamu Boy Satria—murid Darma."

---

Malam itu, Boy pulang pelan-pelan ke rumah. Nenek Rahayu melihat cucunya masuk dengan wajah lebam dan tubuh penuh memar. Mata nenek langsung melebar.

"Ya Allah, Boy! Kamu kenapa?!"

Boy mengelus belakang kepala. "Eee… jatuh dari pohon."

Nenek mengetuk kepalanya. "Jangan bohong sama nenek!"

"Aduh!"

Nenek menyuruh Boy duduk dan mulai mengobati luka-lukanya dengan minyak gosok tradisional. Meski pedih, Boy hanya berusaha tersenyum.

"Kamu berkelahi lagi ya?" tanya nenek sedih.

Boy menunduk. "Nenek… maaf."

Nenek menghela napas panjang. "Kamu anak baik, Boy. Hanya suka memicu masalah. Tapi nenek tahu kamu tidak jahat."

Boy merasa dadanya hangat. Ia jarang mendengar kata-kata seperti itu.

Nenek menepuk pipinya pelan. "Besok jangan bikin masalah lagi ya."

Boy berkata dalam hati: Besok… aku mulai berubah.

---

Keesokan paginya, Boy bangun dengan rasa nyeri di seluruh tubuh. Namun ia tidak peduli.

Hari itu ia pergi ke sekolah dengan langkah mantap.

Di gerbang sekolah, anak-anak menatapnya aneh—ada yang takut, ada yang menghina, ada yang bingung.

Namun sebelum Boy sempat masuk, Sita datang menghampiri dengan tangan di pinggang.

"Gimana badanmu?"

"Masih bisa jalan."

"Bagus." Sita menunjuk wajah Boy. "Besok-besok jangan sok-sokan lawan banyak orang!"

Boy mendengus. "Kalo lo nggak ikut campur, gua nggak ribut."

"Apa?!" Sita memelototkan mata. "Kamu tuh yang nyari masalah!"

Boy memutar bola mata.

Rani muncul dari samping. "Boy… aku senang kamu nggak apa-apa." Suaranya lembut dan penuh kekhawatiran.

Boy agak canggung. "Iya…"

Tiba-tiba Badu datang dengan roti di tangan. "Boy! Mau sarapan?"

"Nggak."

"Ayolah…"

"Gua bilang nggak."

Sementara Lily menyapa dengan anggukan kecil.

Boy tiba-tiba merasa aneh. Ia benar-benar tidak punya teman selama ini. Tapi pagi itu, empat orang berdiri di sekelilingnya.

Dan meskipun tidak ia akui, rasanya… menyenangkan.

Namun kehangatan itu hanya berlangsung sebentar. Dari kejauhan, Rendy dan beberapa anggota Garuda Hitam berjalan sambil menatap Boy dengan tatapan seperti akan membunuh.

Sita berbisik, "Kamu hati-hati."

Boy tersenyum kecil. "Mulai hari ini… gua nggak akan lari."

Meski tubuhnya masih sakit, pikirannya teguh. Ia punya tujuan baru. Ia punya seseorang untuk dijadikan guru. Ia punya alasan untuk bangkit.

Dan di belakang semua itu… ancaman Garuda Hitam semakin membesar.

Mereka tidak akan diam melihat seorang anak nakal tiba-tiba berani melawan.

Dan Boy tahu: harinya sebagai anak yang "biasa saja" telah berakhir.

More Chapters