Udara di Utara selalu terasa berbeda—dingin, tapi bersih. Begitu John melangkah ke dalam gerbang istana, matanya langsung disambut oleh kemegahan yang tak tertandingi. Pilar-pilar kristal biru menjulang, menembus langit-langit yang berhiaskan ukiran cahaya, sementara salju turun perlahan menembus jendela besar seperti butiran kaca yang berkilau.
Di tengah aula luas itu, para pelayan Azael berdiri berbaris, mengenakan jubah putih keperakan dengan sulaman simbol kuno di dada mereka. Di hadapan John terbentang peti-peti besar yang berisi permata, emas, dan artefak berkilau. Cahaya lilin memantul di permukaan logamnya, memantulkan wajah John yang masih tak percaya.
"Semua ini… untukku?" gumamnya pelan.
Pelayan tertua di antara mereka mengangguk sopan. "Atas perintah langsung Tuan Kael. Ia berkata, hadiah ini adalah bentuk penghargaan atas jasa Anda."
John menatap kekayaan itu lama—mata yang dulu haus kekuasaan kini hanya menampilkan kebingungan. Setelah beberapa saat ia bertanya, "Lalu bagaimana dengan… kekuasaanku? Janjiku pada Kael?"
Pelayan itu menatapnya dengan mata jernih, tak ada sedikit pun keraguan di wajahnya. "Tuan Kael telah memerintahkan Tuan Leon untuk memberi Anda jabatan tinggi setelah semua urusan di Utara selesai. Beliau berkata, 'Saat aku pergi, biarlah John berdiri menggantikan sebagian dari bebanku.'"
John terdiam. Ada sesuatu dalam kalimat itu — saat aku pergi.
Pergi ke mana? Kenapa terdengar seperti perpisahan?
Namun pikirannya teralihkan ketika beberapa wanita Azael lewat membawa kain sutra dan kendi perak. Wajah mereka memancarkan cahaya aneh, indah tapi asing. Mereka tersenyum lembut ketika lewat di depan John — senyum yang terlalu tenang untuk makhluk hidup biasa.
John terpaku sejenak. Kulit mereka pucat sempurna, mata mereka berkilau seperti batu giok. Tapi yang membuatnya merinding adalah… jumlah mereka. Ras Azael seharusnya hampir punah. Lalu kenapa sekarang mereka begitu banyak? Lebih banyak dari yang pernah ia lihat.
Ia mencoba menyembunyikan kegelisahannya, namun pikirannya tak bisa diam.
Bukankah sebagian besar Azael dibasmi? pikirnya. Bagaimana mereka bisa berkembang biak secepat ini?
Ia menatap pelayan di sampingnya. "Aku… tidak bermaksud lancang, tapi… darimana datangnya semua ini? Mereka?"
Pelayan itu tersenyum tenang, terlalu tenang. "Semuanya baik-baik saja, Tuan John. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Nada suaranya membuat John merinding. Ia menatap lebih dalam ke mata pelayan itu, tapi yang ia lihat hanyalah bayangan dirinya sendiri yang terpantul di pupil perak dingin.
John menyingkirkan pikirannya. Ia tidak ingin terjebak dalam kecurigaan yang belum tentu benar. Ia berjalan menuju pintu besar, berharap menemukan Kael dan menyingkirkan semua kegelisahan ini dengan bicara langsung.
Namun begitu ia keluar ke lorong utama, Kael tak terlihat di mana pun.
"Dimana Kael?" tanyanya pada salah satu pelayan muda.
Pelayan itu menunduk, tangan gemetar sedikit. "Beliau… baru saja mandi, Tuan."
John mengerutkan dahi. "Mandi? Sekarang?"
"Ya. Setelah perjalanan panjang, beliau berkata ingin membersihkan diri."
John tertawa kecil, tapi tawanya hampa. "Lucu. Aku belum pernah melihat Kael kotor sekalipun. Bahkan setelah peperangan, ia selalu tampak bersih. Tidak sekalipun…"
Pelayan itu hanya menunduk lebih dalam, bibirnya tak bergerak. John menghela napas dan berjalan ke ruang tunggu. Suara air dari jauh terdengar samar, seolah membisikkan sesuatu yang tak bisa ia pahami.
Beberapa waktu kemudian, langkah Kael terdengar dari ujung lorong. Ia muncul dengan pakaian hitam sederhana, rambut basah meneteskan air di lantai kristal. Tidak ada aroma sabun, tapi udara di sekitarnya terasa segar — hampir terlalu segar.
John berdiri cepat. "Kael! Aku harus bicara denganmu."
Kael menatapnya dengan senyum lembut, nyaris seperti seorang kakak yang menenangkan adiknya. "Aku tahu. Duduklah, John."
John langsung meluapkan kegelisahannya — tentang Azael, tentang wanita-wanita yang tampak aneh, tentang semua hal yang tak masuk akal sejak kemenangan terakhir mereka.
Kael hanya mendengarkan, tidak memotong sedikit pun, sampai akhirnya ia berkata dengan tenang:
"Itu privasi, John."
John menatapnya dengan tatapan tak puas. "Kau tahu, aku sudah lama ikut kau. Aku berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Kael tersenyum tipis. "Baiklah. Kalau begitu aku akan katakan satu hal saja—aku adalah Raja Azael yang baru."
Hening.
Kalimat itu menggema di ruangan seolah memiliki bobot ribuan batu.
John terpaku, mencoba mencerna kata-kata itu. "Raja Azael… baru? Jadi… semua itu… mereka…"
Kael mengangguk perlahan. "Aku mengambil peran yang mereka butuhkan. Dunia ini perlu penyeimbang. Dan aku hanya memenuhi panggilanku."
Tidak ada kesan sombong. Tidak ada kebanggaan. Hanya kelelahan yang sunyi, seperti seseorang yang menanggung beban yang tak bisa dipikul siapa pun.
John perlahan mengangguk. Ia tidak benar-benar paham, tapi entah kenapa… ia merasa lega.
"Kalau begitu… aku harap dunia ini bisa bertahan denganmu."
Kael menatapnya sejenak, lalu berkata pelan, "Dunia tidak perlu bertahan, John. Dunia hanya perlu berjalan."
Setelah sedikit berbincang-bincang, John akhirnya berpamitan. Ia tahu masih banyak pertanyaan yang belum terjawab, tapi sesuatu dalam diri Kael membuatnya enggan memaksa lebih jauh.
Saat John meninggalkan aula, angin dingin Utara menyapu wajahnya. Dari jauh, ia menoleh ke arah istana yang kini tampak seperti menara kristal di tengah badai salju.
Ia tahu, meski tak diucapkan, perpisahan itu sudah terjadi.
