Setelah memastikan segalanya, Kael meninggalkannya dengan senyum tenang. Ia berjalan menuju koridor panjang tempat Arizone menunggu.
Gadis itu tampak gelisah — bukan karena ketakutan, melainkan karena firasat.
"Jadi... kau benar-benar akan pergi?"
suaranya bergetar, seolah enggan mengucapkannya.
Kael menatapnya lembut.
"Aku tidak meninggalkanmu, Arizone. Kau hanya akan berpindah... ke tempat yang lebih indah. Tempat di mana kau tak akan pernah kesepian."
Tangan Kael menyentuh kepalanya perlahan, dan dalam sekejap cahaya putih lembut melingkupi mereka.
Ketika Arizone membuka mata, dunia di hadapannya telah berubah.
Langitnya berwarna ungu keemasan, penuh gugusan cahaya yang menari di udara. Di sekitarnya berdiri para wanita dan anak-anak dari berbagai ras, semuanya tersenyum menyambut kedatangannya.
"Jadi... ini tempat yang kau maksud..."
bisik Arizone terpana.
Suasana begitu damai, nyaris sempurna. Tapi jauh di balik itu, sebuah misteri belum berakhir.
Di sisi lain, John berjalan menuruni tangga besar istana Utara. Gemerincing emas dari perhiasan dan lambang kekuasaan yang kini melekat di tubuhnya tak mampu menutupi wajah yang hampa — kosong seperti dunia yang ditinggalkan pemiliknya.
Ia kini memiliki segalanya: harta yang tak terhitung, gelar yang disegani, kekuasaan atas wilayah luas yang dulu bahkan tak berani ia sentuh. Tapi entah kenapa, semuanya terasa... tak berarti.
"Semuanya terasa hampa... seperti menatap panggung tanpa pemerannya," gumamnya lirih.
Suara langkahnya bergema di antara dinding-dinding beku yang seolah mengingat tiap bisikan masa lalu. Bayangan Kael — sosok yang ia benci, kagumi, dan tak pernah pahami sepenuhnya — masih tergambar jelas di benaknya.
Angin berdesir lembut, membawa aroma samar yang dulu hanya muncul ketika Kael lewat.
John berhenti.
Ia tahu, tugasnya belum selesai.
Kael pernah berpesan singkat sebelum pergi, dengan nada yang tidak bisa ia tolak:
"Awasi dunia ini untukku. Jangan biarkan siapapun menyentuhnya sebelum aku kembali."
Dan kini, di tengah kehampaan yang semakin menggigit, itulah satu-satunya alasan ia masih berdiri.
---
Dunia tanpa Kael terasa aneh.
Langit tampak lebih redup, dan tanah di bawah salju seolah kehilangan denyutnya.
John mulai menyadari sesuatu yang lebih besar dari sekadar kepergian — dunia itu sendiri terasa menunggu.
Di bawah langit yang bergetar itu, Kael berdiri di puncak tertinggi dunia — tempat segalanya dimulai, dan tempat segalanya akan berakhir.
Cahaya dingin dari bulan memantulkan kilau pada pedang katananya yang hitam kebiruan. Jubahnya berkibar, setiap lipatan menimbulkan bunyi lembut yang menusuk keheningan.
Kael menatap jauh ke bawah, ke dunia yang kini telah "selesai".
Dunia yang ia bentuk, lindungi, dan… kecewakan.
---
Para Spectator bermunculan satu per satu, siluet bercahaya yang muncul dari pusaran dimensi.
Mereka bergetar — bukan karena takut, tapi karena merasakan sesuatu yang tak seharusnya ada di dalam dunia ini.
Aura Kael berbeda. Ia bukan lagi karakter. Ia sesuatu yang lebih dari itu.
"Apa yang dia lakukan?"
"Dia sadar kita menonton…"
"Itu tak mungkin—dimensi ini seharusnya tertutup!"
Bisik-bisik itu membuncah menjadi kegaduhan panik.
Namun Kael tidak menoleh sedikit pun. Ia hanya menutup matanya, memejam dalam tenang, lalu perlahan berbisik—
Jadi, kalian benar-benar berpikir aku tak melihat?"
Langit langsung bergetar.
Suara halus itu menggema menembus realitas.
Aurora terbelah, udara terhenti, bahkan waktu tampak membeku.
Kael mengangkat pedangnya ke arah langit—
sebuah kilatan biru menyambar, menyalakan seluruh puncak gunung seperti kilat yang tak kunjung padam.
Dan tebasan itu, satu ayunan sederhana, membelah ruang di hadapannya.
Dimensi berderak. Suara logam dan petir bersatu dalam dentuman maha dahsyat yang menggetarkan seluruh dunia.
Dinding antara dunia cerita dan dunia penonton terbelah dua.
---
Cahaya di balik celah itu meluap.
Dari dalam, keluar sosok pria berambut acak, berpakaian santai seperti tak ada beban hidup—
namun setiap langkahnya membuat ruang di sekelilingnya retak halus seperti kaca yang ditekan dari dalam.
Pria misterius itu tersenyum kecil.
"Oi, lu seharusnya gak ngelakuin itu… sekalipun lu Main Character."
Suara itu santai, tapi ada nada serius tersembunyi di dalamnya.
Kael perlahan menurunkan pedangnya, menatap lurus ke pria itu.
Tatapan mereka bertemu—dua entitas yang tak seharusnya eksis di dimensi yang sama.
"Sudah cukup lama kita tidak bertemu."
"Rindu ya? Padahal baru sebentar kita berpisah," jawab pria itu sambil menepuk debu imajiner di bahunya.
Kael tersenyum tipis. Bukan senyum manusia — tapi senyum yang membuat para Spectator serentak membisu.
"Bocah ceroboh itu… dia sudah mulai tahu."
Pria itu mengangkat alisnya, wajahnya berubah serius sesaat.
> "Iya, gua tau. Udah cepat sana pergi. Rencana kita udah mulai."
---
Tanah di bawah mereka bergetar pelan.
Kael menatap dunia di bawahnya — kota, gunung, laut, semua tampak kecil dan tak berarti.
Ia menancapkan pedangnya ke tanah. Sebuah gelombang cahaya menyebar dari ujung bilahnya, memulihkan semua kerusakan dunia, menutup luka-luka yang ia buat sendiri.
Rumah-rumah berdiri kembali. Salju jatuh perlahan. Langit kembali utuh.
Dan semua seolah tak pernah terjadi.
Para Spectator terpana.
Mereka sadar — kekuatan itu bukan sihir, bukan sistem, bukan narasi.
Itu kendali mutlak atas eksistensi.
Salah satu Spectator berbisik lirih,
"Dia… bukan tokoh fiksi lagi…"
Tapi bisikan itu segera lenyap ketika Kael menebas sekali lagi.
Cahaya dari pedangnya membelah langit, lebih luas, lebih dalam—
hingga ruangan para Spectator di balik layar pun terbelah.
Semua panik. Semua kecuali satu orang.
Pria misterius tadi malah menyilangkan tangan dan tertawa kecil.
"Gua lupa… lu gak pernah berubah."
"Dan lu gak pernah belajar diem," balas Kael datar.
Lalu suara berat menggema dari atas cahaya putih yang kini turun perlahan—
suara yang bukan berasal dari dunia manapun.
"Sudah cukup, Kael. Kau sudah melewati batasmu."
Semua berhenti.
Cahaya itu menelan langit, menembus gunung, dan dunia bergetar seperti jantung yang berdetak terakhir kalinya.
Kael menatap sumber suara itu, tersenyum samar.
"Akhirnya… kau datang juga."
Ia melangkah maju — satu langkah, dua langkah, tiga langkah — dan tubuhnya perlahan berubah menjadi cahaya.
Aurora di belakangnya menari semakin liar, seolah mengantarkan kepergiannya.
Sebelum menghilang sepenuhnya, suaranya terdengar pelan:
"Aku akan kembali… tapi bukan sebagai karakter kalian."
Dan dengan itu — Kael melompat ke dalam cahaya.
---
Langit menutup.
Cahaya lenyap.
Spectator hanya terdiam.
Hening.
Tak ada satu pun yang berani berkata.
Namun salah satu dari mereka — pria yang tadi bicara dengan Kael — tersenyum tipis.
"Heh, akhirnya dimulai juga, ya."
Di bawah sana, di antara dingin dan kabut yang menelan gunung, John berdiri menatap puncak itu dari jauh.
Matanya kosong, tapi dalam diamnya, ia tahu satu hal: dunia ini baru saja berubah selamanya.
