Elior membuka matanya perlahan, dikejutkan oleh keheningan yang luar biasa. Ia berdiri di tengah Dimensi Cahaya, dan yang pertama kali terasa adalah kesempurnaan yang menenangkan. Dimensi ini tampak tidak berujung, hamparan cahaya putih keemasan membentang tanpa batas, memantul dari permukaan sungai bening seperti kaca cair, mengalir tanpa suara tapi dengan ritme yang harmonis. Udara di sekitarnya terasa ringan, setiap tarikan napasnya menghadirkan rasa damai yang murni, seolah menghapus semua kegelisahan dan keraguan yang mungkin ia bawa dari dunia sebelumnya.
Di Dimensi Cahaya, tidak ada makhluk hidup biasa, tidak ada pohon, hewan, atau manusia. Segalanya adalah energi murni, wujud dari kemurnian, kebahagiaan, dan hal-hal positif yang bersih dari noda duniawi. Cahaya di sini memiliki tekstur hampir seperti cairan emas, bergerak perlahan dan lembut, membentuk riak di udara setiap kali Elior melangkah. Setiap bayangan atau refleksi yang muncul berasal dari kehadiran Author, yang mengizinkan dan memanipulasi segala sesuatu. Ruang ini terasa seperti ruang refleksi penuh kemurnian dan kebaikan, setiap detik terasa penuh makna kenangan dan rasa bersyukur .
Elior berjalan pelan, kakinya seakan melayang di atas permukaan cahaya yang berkilau. Ia menatap ke segala arah, merasa kagum dan canggung sekaligus. Ia belum pernah mengalami tempat yang begitu sempurna; tidak ada rasa takut, tidak ada ketegangan, tidak ada konflik—hanya rasa damai dan harmoni. Di kejauhan, cahaya memudar menjadi warna keperakan, menciptakan horizon yang seakan tidak mungkin disentuh. Meski murni, dimensi ini memunculkan rasa heran dan sedikit penasaran di hatinya.
Setelah beberapa saat, ia menemukan gerbang bercahaya yang seakan menunggu. Melintasinya, ia tiba di Dunia Perpustakaan, yang kontras dengan Dimensi Cahaya. Dunia ini penuh dengan kehidupan fiksi dalam bentuk paling literal: ribuan buku beterbangan, mengapung di udara, berputar, membuka halaman, atau menempel di tiang-tiang cahaya yang tampak tidak stabil namun stabil dalam hukum dunia ini. Buku-buku itu bukan sekadar benda mati; mereka memancarkan emosi dari kisah yang terkandung di dalamnya—tawa yang tajam, tangisan yang lirih, amarah yang membara, ketakutan yang menekan dada. Setiap buku memiliki aura unik, warna cahaya, dan suara halus yang bisa dirasakan oleh siapa pun yang memandangnya.
Elior menyadari sesuatu: ia bisa merasakan perspektif Spectator yang memandang cerita-cerita itu. Ia seperti menempel pada sisi pandang karakter, menyerap emosi dan motivasi yang ada. Kadang ia merasakan kegembiraan seorang pahlawan fiksi, kadang keputusasaan tokoh yang kalah, dan terkadang rasa bersalah dari mereka yang membuat keputusan salah. Dunia ini bukan hanya perpustakaan; ia adalah manifestasi dari semua cerita, sebuah ekosistem di mana kisah hidup, konflik, cinta, dan dendam berinteraksi satu sama lain dalam bentuk energi visual dan emosional.
Setiap rak yang Elior lewati berbeda bentuknya. Ada rak yang membentuk spiral ke atas, seakan menembus langit, ada rak horizontal yang mengapung di udara, penuh dengan buku yang membuka sendiri dan menunjukkan bab yang paling dramatis. Ada pula buku yang menampilkan kisah secara holografik: tokoh-tokoh tampak hidup, berjalan di udara, berinteraksi di depan matanya. Suara mereka terdengar samar, berulang-ulang, tapi tidak mengganggu; ia seperti menonton drama yang berjalan sendiri, namun ia dapat merasakan setiap pilihan dan konsekuensi dari tokoh-tokohnya.
Elior berjalan perlahan, mencoba menyentuh buku-buku itu. Setiap kali tangannya mendekat, energi dari buku tersebut seperti terserap ke tubuhnya, membuatnya merasakan emosi tokoh yang terlibat. Ia tersenyum malu-malu sekaligus terkejut. Ia baru menyadari, dunia ini tidak hanya menyimpan cerita, tapi juga memberi kesempatan bagi siapa saja yang hadir di sini untuk merasakan, belajar, dan memahami kisah dari sudut pandang yang berbeda.
Di langit tinggi perpustakaan, cahaya dari Dimensi Cahaya masih tampak samar, seakan menunggu untuk diserap kembali ke dunia yang lebih murni. Angin di perpustakaan berhembus lembut, membawa aroma tinta dan kertas bercampur dengan energi dari emosi cerita. Elior merasa seperti berada di tengah panggung besar yang menghubungkan dua dunia: satu dunia kemurnian dan harmoni, satu dunia kompleksitas dan emosionalitas.
Elior tetap polos, namun matanya mulai bersinar dengan rasa penasaran. Ia perlahan memahami bahwa dunia yang dilihatnya bukanlah sekadar tempat belajar, melainkan arena pengalaman dan pemahaman, tempat di mana kisah, moral, dan konsekuensi berjalan bersamaan, sementara para entitas di balik dunia—Spectator, Author, atau siapa pun yang mengawasi—mengamati dan menilai. Ia merasakan ketegangan halus, ada energi yang memantul di seluruh rak, seolah semua buku menunggu untuk diceritakan, dipahami, atau diubah.
Ia duduk sejenak di tepi rak spiral, memperhatikan buku-buku berwarna biru gelap yang memancarkan kisah penuh konflik dan dendam, sementara di seberang, buku dengan cahaya lembut emas memancarkan kisah kasih dan kemenangan. Ia tersenyum, kagum pada keseimbangan dunia ini, dan merasa kecil namun sekaligus penting: karena keberadaannya di sini berarti ia bisa belajar, merasakan, dan—mungkin—memahami jalan cerita lebih jauh daripada karakter biasa.
Perlahan, Elior berdiri kembali, mengambil langkah ke tengah dunia yang luas itu, menyadari bahwa ia tidak hanya melihat cerita, tetapi juga bagian dari cerita itu sendiri, seakan dunia menunggu apa yang akan ia lakukan, bagaimana ia akan menanggapi, dan sejauh mana ia akan memahami peran yang baru saja dibuka untuknya. Dunia ini hidup, dan Elior pun mulai menyadari betapa berharganya setiap detail: cahaya, buku, energi, dan bahkan keheningan yang membingungkan sekaligus menenangkan.
Di sini, di antara dua dimensi yang kontras—kemurnian murni dan kompleksitas cerita—Elior menatap ke depan, matanya membulat, tapi hatinya mulai memproses. Dunia ini terlalu luas untuk dijelaskan sekilas, terlalu kompleks untuk diterima sekaligus. Tapi satu hal sudah jelas: ini adalah awal dari pengalaman yang akan mengubah pandangannya, dan mungkin, pemahamannya tentang segala sesuatu yang pernah ia anggap pasti.
