Elior membuka matanya perlahan, udara pagi di sekolah terasa segar. Tapi pikirannya masih melayang pada pengalaman semalam—sebuah dunia yang hampir mustahil ia bayangkan sebelumnya. Dengan langkah cepat, ia berlari ke arah Kael di dekat gerbang sekolah, mata berbinar-binar penuh semangat.
"Kael! Kau tidak akan percaya!" teriaknya, napas terengah. "Aku… aku ada di Dimensi Cahaya! Dan… Dunia Perpustakaan! Kael, semua itu nyata… aku bisa melihat semuanya… buku-buku, cerita, bahkan perspektif orang-orang di dalamnya!"
Kael menatapnya dengan tenang, senyumnya lembut, seperti orang dewasa yang mendengarkan anak kecil menceritakan petualangan imajiner. Ia membiarkan Elior meluapkan kegembiraannya, sesekali menepuk bahu Elior dengan tenang.
"Bagus… senang kau menikmatinya, Elior. Tapi ingat," kata Kael, suaranya rendah dan menenangkan, "pengalaman besar tidak selalu bisa dimengerti sepenuhnya. Kadang yang kau rasakan hanya sebagian dari keseluruhan cerita."
Elior mengangguk, wajahnya masih berseri, namun perlahan kesadaran menyelimuti matanya—ia mulai mencoba memahami kedalaman dunia itu. "Semua itu… begitu sempurna. Cahaya murni, buku-buku yang hidup, semua emosi terekam di sana… bahkan perspektif John! Aku merasa seolah aku bagian dari cerita itu sendiri!"
Kael menatapnya lama, seakan menilai ketulusan rasa kagum itu, lalu tersenyum tipis. "Pengalamanmu baru permulaan, Elior. Dan kau sudah mulai memahami apa yang sering tersembunyi di balik cerita."
Mereka berjalan menuju kelas, dan Elior duduk dengan mata tetap bersinar. "Kael… apa itu Trinity of Story bagi mu?" tanyanya, suara setengah serius, setengah kagum. Kael sedikit terkejut—Elior sudah mulai bertanya tentang konsep yang lebih dalam.
Sebelum Kael sempat menjawab, seorang remaja berenergi tinggi tiba-tiba muncul dari belakang, merangkul Elior sambil tertawa. "Hah, Trinity of Story apaan tuh? Keren banget, hahaha!"
Sejenak, suasana kelas yang ringan itu berubah. Mata Elior melebar, merasakan ada perubahan halus tapi tegas dalam atmosfer ruangan. Nada remaja itu berubah drastis, menajam dan penuh ancaman.
"Dari mana kau tau semua itu?" ujar remaja itu—Nolan—matanya menatap tajam, seluruh tubuhnya menegangkan, seperti siap meledak.
Kael menyipitkan mata, menghela napas pelan. "Sudahlah, Nolan… jangan mengganggu dia," kata Kael dengan tegas, tenang, tetapi penuh otoritas.
"Hehehe… canda-canda," balas Nolan, namun tatapannya tetap menyimpan peringatan halus. Atmosfer kembali ringan sejenak, tapi ketegangan masih terasa di udara.
Nolan mencondongkan tubuh ke arah Elior, matanya menembus seolah ingin membaca isi pikirannya. "Dengar baik-baik, Elior. Jangan sekali-kali menceritakan ini pada siapa pun."
Sebelum Elior bisa menanggapi, sebuah pistol bius muncul, diarahkan perlahan ke arah lehernya. Rasa kantuk yang tak bisa dihindari mulai menyelimuti tubuhnya. Ia tersenyum samar, mata mulai redup, dan tubuhnya melayang ke tidur lelap dalam hitungan detik.
Nolan menurunkan pistol, menatap Elior yang tertidur pulas. "Jadi… mari kita bicarakan apa yang sedang terjadi," katanya, suaranya stabil namun menimbulkan ketegangan di seluruh kelas.
Kael tetap diam, berdiri tak jauh dari mereka, matanya menatap dengan ketenangan dingin. Ia tidak terburu-buru, hanya mengamati, menilai, dan siap jika diperlukan. Di balik tatapannya, ada kesadaran bahwa sesuatu yang lebih besar tengah mulai terbuka—sesuatu yang akan menuntun cerita ini ke arah yang tak terduga.
