Kota tampak sepi di luar aula, tapi di dalam, udara tegang mencekam. Kael berdiri di podium, tatapannya dingin seperti es, memandang para warga dan bangsawan dengan ketidakpedulian yang menggetarkan. Diskusi yang awalnya hendak mencari kesepakatan perlahan berubah menjadi arena ketegangan.
Beberapa warga mencoba bersuara, menentang keputusan Kael, mempertanyakan keputusannya selama ini. Kata-kata mereka terdengar lemah di hadapan aura tak terbantahkan sang Main Character, namun cukup membuat siapa pun yang mendengar merasa marah dan takut.
"Bagaimana bisa kau… membiarkan mereka hidup?! Mereka sudah berbuat jahat, mereka harus dibalas!" teriak salah satu warga dengan wajah memerah, dadanya naik-turun menahan amarah.
"Ini… tidak adil!" sahut bangsawan lain, suaranya bergetar antara takut dan benci.
Kael menatap mereka, tatapannya membekukan udara di sekeliling aula. Tanpa sepatah kata pun untuk membela diri, pedang katana yang ia genggam tersingkap, memantulkan cahaya lilin aula. Setiap gerakan Kael presisi, kejam, dan cepat—hanya beberapa detik, dan beberapa warga yang menentang langsung tersungkur, darah memercik di lantai dingin.
Clara menutup mulutnya dengan tangan, air mata jatuh tanpa suara. Hatinya bergetar, bukan hanya karena takut pada Kael, tapi karena ia merasakan dinginnya kekuasaan yang tak bisa dibantah—kejam, tanpa ampun, seperti hukuman yang datang dari dunia lain. Ia menunduk, berharap tak ada yang tersisa untuk diselamatkan.
Di sisi lain, Shiro berlari ke depan. Lily dan beberapa teman kecilnya berada di garis depan, panik melihat darah dan kekacauan. Shiro mencoba melindungi mereka, berteriak, "Bergerak! Pergi!" Namun, kecepatan dan ketepatan Kael terlalu luar biasa. Tebasan pedang katana bergerak lebih cepat daripada suara, Lily tersambar, tubuhnya roboh sebelum sempat Shiro menyelamatkannya. Tangannya yang mencoba menahan tebasan Kael gagal.
Shiro menjerit, hatinya hancur. Bayangan masa lalunya muncul: momen-momen indah saat ia bermain dan tertawa bersama Lily, saat mereka percaya pada harapan yang dibawa Kael, saat Kael tampak sebagai simbol kebaikan. Kini semua itu hancur. Ia menatap tubuh Lily, darah yang mengalir di lantai, dan rasa benci campur kagum membara di dadanya. Shiro merasa dunia telah mengkhianatinya, dan bahkan sang Main Character yang dulu ia kagumi kini menjadi ancaman terbesar.
Kael, tetap tenang, menatap ke arah Shiro. Sarung pedang digunakan untuk menahan serangan pisau Shiro—tak melukai Shiro sedikit pun—namun cukup untuk menjatuhkannya dan menegaskan kekuasaan mutlaknya. Kael berkata dingin, hampir tanpa emosi, "Cukup… jangan coba lagi."
Shiro terkapar, menahan rasa sakit dan kebingungan, sementara tim medis kerajaan segera menolongnya. Clara masih terpaku, matanya tak bisa melepaskan pandangan dari Kael, hatinya dipenuhi rasa takut bercampur heran. Bagaimana bisa seorang yang ia kagumi, yang seharusnya menjadi pelindung, menunjukkan kejamnya kekuatan seperti ini?
Leon mencoba menenangkan situasi, suaranya tegas namun panik. "Sang Main Character… cukup! Ini sudah keterlaluan!"
Kael menatap Leon, dan dengan nada yang dingin tapi penuh ketegasan berkata, "Ini bukan tentang benar atau salah. Ini tentang siapa yang siap menghadapi kenyataan."
Warga yang tersisa menunduk, ketakutan. Shiro menatap Kael dengan mata basah, hatinya campur aduk antara dendam, kehilangan, dan kekaguman. Clara menunduk, air matanya tak berhenti menetes, menyadari moral abu-abu yang harus dijalani sang MC—kekuatan yang tak bisa ditawar, keadilan yang kejam, dan kebenaran yang tak selalu terlihat indah.
Di aula, darah menetes di lantai dingin, aroma besi dan ketakutan menggantung di udara. Dunia tampak hening, tapi gema ketegangan ini akan membekas di hati semua yang menyaksikan—khususnya bagi Shiro, yang kini tahu bahwa harapan yang ia sandarkan pada Kael hanyalah bayangan di tengah kegelapan.
