Panasnya ruang kelas terasa familier, hampir membuatku nostalgia. Kipas angin tua di langit-langit berderit lelah, seolah menyerah melawan gerahnya udara siang hari. Debu kapur tulis menari-nari di pilar cahaya matahari yang menembus jendela. Di sekelilingku, teman-teman sekelasku, anak-anak berusia sepuluh tahun, menyalin dengan tekun apa yang tertulis di papan tulis. Bagi mereka, ini adalah pelajaran penting. Bagiku, ini adalah pengulangan yang membosankan.
Aku, Bintang, duduk di barisan ketiga. Di atas mejaku tergeletak buku paket Matematika yang terbuka, namun di bawahnya, tersembunyi sebuah harta karun: buku teks Fisika untuk kelas 2 SMA yang kupinjam dari perpustakaan daerah. Teori relativitas Einstein jauh lebih menarik daripada perkalian bersusun.
"Bintang."
Suara itu menarikku dari kontemplasi tentang ruang dan waktu. Ibu Tati, guru Matematika kami yang sabar, berdiri di depan kelas dengan tangan di pinggang. Ia menatapku dengan sorot mata yang merupakan campuran antara kekaguman dan frustrasi.
"Kamu tidak memperhatikan, ya?" tanyanya, nadanya lebih seperti pernyataan daripada pertanyaan.
Beberapa anak terkikik. Si jenius kena batunya.
"Maaf, Bu," jawabku pelan, menutup buku Fisika di bawah meja dengan kakiku.
"Kalau begitu, coba kerjakan soal ini di depan," katanya sambil menunjuk sebuah soal cerita yang cukup rumit untuk level kelas 5. Soal itu melibatkan pembagian hasil panen dengan persentase yang berbeda-beda.
Aku berjalan ke depan dengan langkah tenang. Aroma kapur tulis yang tajam menyambutku. Aku mengambil sebatang kapur, dan tanpa perlu berpikir, tanganku mulai menari di atas papan tulis hitam. Aku tidak hanya menuliskan jawabannya. Aku memecah soal itu menjadi tiga metode berbeda. Metode pertama adalah cara standar yang diajarkan di buku. Metode kedua adalah aljabar sederhana yang seharusnya baru dipelajari di SMP. Metode ketiga adalah logika murni, menjelaskan konsepnya seolah-olah aku sedang menjelaskan cara membagi kue.
Aku selesai dalam waktu kurang dari satu menit.
Ruang kelas menjadi sunyi senyap. Hanya derit kipas angin yang terdengar. Ibu Tati menatap papan tulis, lalu menatapku. Matanya melebar. Ia membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi, seolah tidak tahu harus berkata apa.
"I-itu... benar," akhirnya ia berhasil berucap. "Metode kedua dan ketiga... kamu belajar dari mana, Bintang?"
"Membaca sendiri, Bu," jawabku singkat.
Aku bisa merasakan tatapan dari seluruh kelas. Bukan tatapan kagum seperti yang didapat juara kelas pada umumnya. Ini adalah tatapan yang berbeda. Tatapan yang diberikan pada sesuatu yang aneh, yang tidak semestinya. Di mata mereka, aku bukan lagi teman sekelas. Aku adalah makhluk lain. Di momen itu, di tengah keramaian tiga puluh anak, aku merasa sangat sendirian.
Perjalanan pulang sekolah adalah satu-satunya waktu di mana aku bisa menjadi diriku sendiri—atau lebih tepatnya, menjadi pengamat. Aku berjalan menyusuri jalanan berdebu yang sama, yang pernah kulalui ribuan kali di kehidupanku yang dulu. Aku melewati warung Mak Icih yang menjual es mambo, anak-anak yang bermain kelereng di bawah pohon mangga, aroma knalpot dari angkot yang lewat. Semuanya adalah diorama masa lalu yang hidup kembali.
Dari kejauhan, aku bisa melihat rumah kami yang sederhana. Dan di sana, di ambang pintu, sesosok tubuh kecil sedang duduk di teras, menunggu.
"Kak Tang!"
Teriakan itu adalah musik termerdu di duniaku. Budi yang kini berusia empat tahun, segera berdiri dan berlari ke arahku dengan langkahnya yang belum sempurna. Ia memeluk kakiku erat-erat seolah aku telah pergi selama setahun.
"Kakak pulang!" serunya dengan gembira.
Aku berjongkok, menyamakan tinggiku dengannya. "Halo, jagoan. Sudah makan siang?"
Ia mengangguk cepat. "Udah. Tadi Budi gambar buat Kakak."
Ia menarik tanganku, membawaku masuk ke dalam rumah. Di atas meja ruang tamu, tergeletak selembar kertas dengan coretan krayon warna-warni. Secara objektif, itu hanyalah coretan acak seorang anak kecil. Tapi aku bisa melihatnya. Ada dua sosok, satu tinggi dan satu kecil, berdiri berdampingan di bawah matahari yang tersenyum.
"Ini Kak Tang, ini Budi," jelasnya sambil menunjuk coretan itu dengan jari mungilnya.
Aku tersenyum, senyum yang paling tulus yang bisa kuberikan hari itu. "Bagus sekali gambarnya. Kakak suka. Nanti kita tempel di dinding kamar, ya?"
Mata Budi berbinar. Baginya, pujian dariku adalah segalanya. Bagiku, keberadaannya adalah segalanya. Ia adalah jangkar yang menahanku di dunia ini, pengingat bahwa semua ini nyata dan memiliki tujuan. Ia adalah satu-satunya orang yang tidak menatapku seolah aku aneh. Baginya, aku hanyalah "Kak Tang". Kakaknya.
Malam itu, suasana rumah kembali normal. Bapak menonton berita malam di stasiun TVRI, sesekali mengomentari harga cabai yang naik. Ibu sibuk di dapur, aroma tumis kangkung dan ikan asin goreng memenuhi udara. Mas Doni, yang sudah SMP, sedang membongkar radio tuanya, sementara Mbak Ratna mengerjakan PR di meja makan.
Aku duduk di pojok, di atas tikar pandan, membaca buku tentang astronomi. Budi duduk di sampingku, menyusun balok-balok kayu menjadi menara yang goyah. Aku larut dalam penjelasan tentang nebula dan lubang hitam, konsep-konsep yang membuat alam semesta terasa begitu luas dan aku terasa begitu kecil. Sebuah perasaan melankolis yang akrab menyelimutiku—kesepian seorang pemikir yang tidak memiliki siapa pun untuk berbagi keajaiban ini.
Tiba-tiba, sebuah tangan kecil menyentuh lenganku. Menara balok kayu Budi telah rubuh di sampingnya, tapi ia tidak peduli. Ia menatapku dengan mata bulatnya yang jernih.
"Kakak," panggilnya pelan, suaranya nyaris berbisik. "Jangan pergi."
Aku terdiam, buku di tanganku terasa berat. Kalimat itu keluar entah dari mana. Aku tidak sedang membicarakan tentang pergi. Tapi entah bagaimana, ia merasakannya. Ia merasakan gema dari kesepianku, ketakutan bawah sadarnya bahwa sosok yang menjadi pusat dunianya ini suatu hari nanti akan menghilang ke tempat yang tidak bisa ia jangkau.
Aku meletakkan bukuku, lalu mengusap kepalanya dengan lembut.
"Kakak di sini," jawabku, lebih untuk meyakinkan diriku sendiri daripada dirinya. "Kakak tidak akan kemana-mana."
Tapi bahkan saat aku mengatakannya, aku tahu itu adalah sebuah kebohongan. Karena aku harus pergi. Demi dia. Dan waktu itu semakin dekat.