Waktu seolah berhenti di dalam ruang kelas itu. Suara Mr. Harrison yang meminta untuk bicara lebih lanjut adalah palu hakim yang mengetuk takdirku. Ibu Tati dan kepala sekolah, yang tadinya hanya menjadi penonton yang bangga, kini bergegas maju dengan ekspresi cemas.
"Mungkin lebih baik kita bicarakan ini di kantor saya, Mr. Harrison," kata kepala sekolah dengan sigap.
Bel tanda istirahat yang biasanya disambut sorak-sorai, hari itu berbunyi tanpa ada yang peduli. Aku digiring keluar dari kelas, melewati barisan teman-temanku yang menatapku dengan campuran rasa takut dan heran. Aku menangkap tatapan Citra. Kehangatan yang biasanya ada di sana telah membeku, digantikan oleh kebingungan yang menyakitkan. Ia seolah bertanya, siapa kamu? Aku hanya bisa membuang muka.
Kantor kepala sekolah yang sempit dan panas terasa semakin menyesakkan. Aku duduk di sebuah kursi kayu, dengan empat orang dewasa menatapku seolah aku adalah sebuah artefak aneh yang baru ditemukan.
"Bintang," Mr. Harrison memulai, nadanya kini jauh dari santai. Ia berbicara dalam Bahasa Inggris, mengasumsikan aku sepenuhnya paham. "Penjelasanmu tadi... itu bukan sesuatu yang bisa dipelajari anak usia sepuluh tahun dari buku pelajaran biasa. Di mana kamu mempelajarinya?"
Aku sudah menyiapkan jawabanku. Ini adalah kebohongan parsial, kebenaran yang dipelintir. "Saya banyak membaca, Sir. Koran bekas milik Bapak, majalah ekonomi lama yang saya temukan di tukang loak. Saya juga suka menonton siaran berita internasional di televisi. Saya hanya... menyambungkan titik-titiknya."
"Dan Bahasa Inggrismu?"
"Dari kamus. Dan meniru cara pembawa berita berbicara," jawabku.
Kepala sekolah dan Ibu Tati hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, tampak lebih takjub dari sebelumnya. Kebohonganku, meskipun luar biasa, masih lebih bisa diterima daripada kebenaran yang sesungguhnya.
Mr. Harrison menatapku dalam-dalam, mencari celah dalam ceritaku. Ia mungkin tidak sepenuhnya percaya, tapi ia tidak bisa membantah hasilnya.
"Bapak Kepala Sekolah, Ibu Tati," katanya, beralih ke Bahasa Indonesia. "Anak ini... potensinya melampaui apa pun yang pernah saya lihat. Dengan segala hormat, membiarkannya terus di sini sama saja dengan menaruh elang di dalam sangkar burung pipit. Ia butuh lingkungan yang bisa menantangnya, mendorongnya hingga ke batas kemampuannya."
"Maksud Mr. Harrison?" tanya kepala sekolah.
"Saya ingin bertemu dengan orang tuanya," kata Mr. Harrison dengan tegas. "Saya percaya saya bisa mendapatkan beasiswa penuh untuknya di sebuah akademi untuk anak-anak berbakat di Australia. Ini bukan hanya kesempatan untuknya, ini adalah investasi untuk masa depan. Anak seperti Bintang bisa mengubah dunia."
Duniaku memang akan berubah. Dimulai dari saat aku melangkah keluar dari kantor itu.
Sekolah sudah sepi. Gosip tentangku pasti sudah menyebar seperti api. Di dekat gerbang, aku melihatnya. Citra menungguku, berdiri sendirian di bawah pohon flamboyan.
Aku berjalan mendekat, dan untuk pertama kalinya, aku tidak tahu harus berkata apa padanya.
"Bintang," panggilnya pelan saat aku sudah di dekatnya. "Siapa kamu... sebenarnya?"
Pertanyaan yang sama seperti yang ada di matanya tadi. Pertanyaan yang paling kutakuti.
Aku menatapnya. Aku melihat teman masa kecilku, satu-satunya sauhku di dunia anak-anak yang normal. Aku ingin memberitahunya. Aku ingin berbagi bebanku. Tapi aku tidak bisa. Itu akan menghancurkan dunianya.
"Aku hanya Bintang, Citra," jawabku, kata-kata itu terasa hampa dan kejam.
Raut kekecewaan yang dalam terlukis di wajahnya. Ia mencari sesuatu di mataku, sebuah penjelasan, sebuah pengakuan, tapi tidak menemukannya. Dinding yang sempat retak itu kini telah kubangun kembali, lebih tinggi dan lebih tebal dari sebelumnya.
"Aku... aku tidak mengenalmu lagi," bisiknya, lebih pada dirinya sendiri. Ia berbalik dan berlari kecil, kepang duanya bergoyang saat ia menjauhiku.
Aku hanya bisa berdiri di sana, mematung. Ini adalah harga pertama yang harus kubayar. Kehilangan satu-satunya temanku. Rasa sakit yang tajam menusuk dadaku, tapi aku menekannya dalam-dalam. Ini untuk Budi, kataku pada diri sendiri. Ini untuk keluarga.
Perjalanan pulang terasa sangat panjang. Saat aku tiba di rumah, semuanya tampak normal. Ibu sedang memasak di dapur, menebarkan aroma bawang goreng. Rian dan teman-temannya sedang bermain petak umpet di halaman. Dan Budi, begitu melihatku, langsung berlari dan memeluk kakiku.
"Kak Tang! Ayo main!"
Aku mengangkatnya, memeluknya erat. Aku menghirup aroma khas anak-anak dari rambutnya. Momen kedamaian yang sempurna ini... aku adalah orang yang akan menghancurkannya. Aku merasa seperti seorang pengkhianat.
Aku bermain dengan Budi di teras dengan hati yang berat, mencoba menyerap setiap detik terakhir dari ketenangan ini. Aku tahu mereka akan segera datang.
Benar saja. Tak lama kemudian, sebuah sepeda motor berhenti di depan rumah kami. Kepala sekolah turun, diikuti oleh Mr. Harrison yang tampak sedikit canggung di lingkungan perumahan sederhana ini.
Bapak yang sedang menyiram tanaman di halaman depan, menatap mereka dengan bingung. Ibu keluar dari dapur, menyeka tangannya ke celemek.
Kepala sekolah tersenyum dengan gugup. "Selamat sore, Pak Santoso, Bu Santoso. Maaf mengganggu. Ada hal yang sangat penting yang perlu kami bicarakan... mengenai putra Anda, Bintang."
Budi, yang berada dalam pelukanku, merasakan ketegangan yang tiba-tiba muncul. Ia menatap wajah-wajah serius para orang dewasa, lalu menatapku dengan cemas.
Aku menurunkannya dengan lembut. Badai telah tiba di depan pintu rumahku. Dan aku yang telah mengundangnya.