Cherreads

Chapter 5 - Bab 5: Pertanyaan di Bawah Pohon Jambu

Waktu istirahat adalah jeda singkat dari kebosanan di kelas. Namun, bagiku, itu hanyalah pertukaran dari satu bentuk isolasi ke bentuk lainnya. Suara riuh rendah teman-temanku yang bermain gobak sodor di lapangan berdebu dan teriakan dari kantin sekolah menjadi musik latar yang tidak pernah benar-benar kusadari. Mereka berada di dunia mereka sendiri, dunia anak-anak berusia sepuluh tahun. Duniaku ada di antara halaman-halaman buku yang kubaca.

Tempatku adalah di bawah pohon jambu air di sudut halaman sekolah. Tempat ini teduh dan jarang didatangi anak-anak lain. Hari ini, buku yang menemaniku adalah sebuah atlas dunia tua dari perpustakaan. Aku menelusuri nama-nama negara, kota, dan lautan, pikiranku melayang ke masa depan—ke tempat-tempat yang akan kukunjungi, ke perusahaan yang akan kubangun. Australia, tempat Mr. Harrison akan membawaku, terasa begitu dekat sekaligus begitu jauh.

"Bintang."

Sebuah suara lembut memanggil namaku, memecah lamunanku. Aku mendongak, sedikit terkejut. Biasanya tidak ada yang menggangguku di sini.

Seorang gadis berdiri di hadapanku. Rambutnya dikepang dua dengan rapi, seragamnya bersih tanpa noda, dan di tangannya ia memegang sebuah buku catatan. Aku langsung mengenalinya. Citra Lestari. Dia adalah peringkat kedua di kelas, gadis terpintar sebelum kehadiranku mengacaukan tatanan itu. Dia rajin, pendiam, dan memiliki sorot mata yang selalu terlihat sedang berpikir.

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, menunggu apa yang akan ia katakan.

Ia tidak langsung berbicara. Ia tampak ragu sejenak, lalu duduk di rumput beberapa langkah dariku, menjaga jarak yang sopan.

"Buku apa yang kamu baca?" tanyanya. Pertanyaan pertama yang keluar darinya bukanlah tentang permainan atau gosip, melainkan tentang buku. Ini sudah membuatnya berbeda.

"Atlas," jawabku singkat.

"Oh," ia mengangguk-angguk kecil. "Aku lihat... kamu selalu membaca buku yang tebal-tebal. Buku untuk orang dewasa."

Aku tidak menjawab, hanya membalik halaman atlas, pura-pura sibuk. Aku bisa merasakan tatapannya, tatapan yang penuh rasa ingin tahu, bukan cemoohan.

"Soal matematika kemarin," lanjutnya, tidak terpengaruh oleh keheninganku. "Cara ketiga yang kamu tulis di papan tulis... yang tentang membagi kue... itu cerdas sekali. Aku tidak pernah memikirkannya seperti itu. Siapa yang mengajarimu?"

"Tidak ada," jawabku jujur. "Hanya terpikir begitu saja."

Citra terdiam sejenak, memproses jawabanku. Aku mengira ia akan menyerah dan pergi, seperti yang lain. Tapi ia tidak.

"Kamu aneh, Bintang," katanya pelan, sama sekali tanpa nada menghina. Itu adalah sebuah observasi, sebuah fakta. "Kamu tidak seperti kami. Cara bicara, caramu menatap... seperti ada orang lain di dalam dirimu. Seperti orang dewasa kecil."

Jantungku berdetak sedikit lebih cepat. Ditusuk tepat di sasaran. Selama ini, para guru melihatku sebagai anak ajaib. Teman-teman sekelas melihatku sebagai si sombong atau si aneh. Tapi Citra... dia melihat sesuatu yang lebih dalam. Dia melihat topengku, meskipun dia tidak tahu apa yang ada di baliknya.

Aku menutup atlas dengan sedikit lebih keras dari yang kuinginkan. "Aku tidak mengerti maksudmu."

"Tidak apa-apa kalau tidak mengerti," balasnya dengan tenang. "Aku hanya ... penasaran. Rasanya seperti berbicara dengan guruku, bukan dengan teman sekelas." Ia tersenyum tipis. "Pasti sepi, ya?"

Pertanyaan terakhir itu, "Pasti sepi, ya?", terasa seperti sebuah pukulan lembut di ulu hati. Sepi. Kata itu menggema di dalam benakku. Ya, tentu saja sepi. Sangat sepi. Sepi karena mengetahui masa depan. Sepi karena tidak bisa berbagi beban. Sepi karena terjebak di antara dua kehidupan.

Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasakan keinginan untuk berbicara, untuk menjelaskan. Tapi lidahku kelu. Menjelaskan apa? Bahwa aku adalah seorang pria berusia 28 tahun dari masa depan yang bereinkarnasi? Mereka akan menganggapku gila.

Bel tanda masuk berbunyi nyaring, menyelamatkanku.

"Aku harus kembali ke kelas," kata Citra sambil berdiri dan membersihkan roknya dari debu. "Sampai nanti, Bintang."

Ia berjalan pergi, meninggalkan aku sendirian di bawah pohon jambu dengan pikiranku yang berkecamuk. Interaksi singkat itu terasa lebih melelahkan daripada mengerjakan seratus soal matematika.

Dinding yang kubangun di sekelilingku selama bertahun-tahun baru saja diuji. Ada sebuah retakan kecil di sana, sebuah retakan yang dibuat oleh pertanyaan tulus dari seorang gadis kecil yang terlalu jeli.

Aku menggelengkan kepala, mencoba mengusir perasaan aneh itu. Aku tidak boleh terganggu. Aku tidak punya waktu untuk pertemanan. Pertemanan menciptakan ikatan, dan ikatan adalah kelemahan bagi misiku.

Misiku adalah Budi. Hanya Budi.

Saat aku berjalan kembali ke kelas, pikiranku tidak lagi tertuju pada Citra atau rasa sepiku. Pikiranku kembali ke rumah, ke sosok adik laki-lakiku. Aku harus tetap fokus. Karena badai perubahan akan segera datang, dan aku harus menjadi cukup kuat untuk memastikan Budi tidak akan terseret olehnya.

More Chapters