Cherreads

Chapter 8 - Bab 8: Paman yang Lebih Muda

Kabar tentang kedatangan guru asing itu menggantung di udara rumah kami seperti awan mendung, meski hanya aku yang bisa melihatnya. Hari-hari terasa berjalan lebih cepat, dan aku mendapati diriku mencuri setiap momen yang kumiliki, terutama dengan Budi. Namun, ada satu elemen konstan di rumah yang selama ini kurang menjadi fokus narasiku, karena ia bukanlah bagian dari masa laluku: keponakanku.

Rian, putra tunggal Mas Agung, adalah sebuah anomali dalam silsilah keluarga kami. Lahir pada tahun 1995, ia satu tahun lebih tua dariku. Ya, keponakanku lebih tua dari pamannya. Ayahnya, Mas Agung—kakak sulungku yang juga bertubuh jangkung dan kini bekerja di Jepang—menitipkannya pada kakek-neneknya, yaitu orang tuaku, saat ia dan istrinya sama-sama berangkat untuk mengadu nasib. Jadilah Rian tumbuh besar bersama kami.

Interaksi kami selalu sedikit canggung. Rian adalah representasi dari anak laki-laki normal seusianya. Enerjik, sedikit bandel, dan lebih suka berlari di bawah terik matahari daripada duduk diam.

Pada suatu Sabtu siang, saat aku sedang duduk di teras, mencoba mengajari Budi cara mengikat tali sepatunya sendiri, Rian datang seperti badai kecil. Ia berkeringat, memegang bola plastik yang sudah kempis.

"Bintang! Ayo main bola di lapangan!" ajaknya, napasnya terengah-engah. Ia selalu memanggilku dengan nama, karena memanggil "Paman" pada seseorang yang lebih muda terasa aneh bahkan untuknya.

Aku menggeleng pelan. "Aku lagi sibuk, Rian. Lain kali saja."

Budi menatap Rian dengan tatapan kagum. Di mata Budi, Rian adalah sosok kakak yang keren, yang selalu punya energi untuk bermain.

"Halah, sibuk terus," gerutu Rian, menendang kerikil. "Mending main, daripada cuma duduk-duduk baca buku kayak orang tua." Ia lalu berlari pergi, kembali ke dunianya yang penuh gerak.

Aku menghela napas. Kami hidup di bawah atap yang sama, tapi di planet yang berbeda. Aku tidak membencinya. Aku hanya tidak tahu bagaimana cara berinteraksi dengannya. Dia adalah pengingat konstan tentang masa kecil normal yang tidak kumiliki, baik di kehidupan ini maupun di kehidupan sebelumnya.

Malam harinya, aku melihat Rian duduk sendirian di meja makan, jauh setelah makan malam selesai. Di hadapannya terbentang buku PR Matematika, dan raut wajahnya tampak sangat frustrasi. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, sesekali memukul meja dengan pelan.

Naluriku menyuruhku untuk membiarkannya. Itu bukan urusanku. Tapi kemudian aku teringat ayahnya, Mas Agung. Sosok yang berhasil keluar dari jerat kemiskinan keluarga ini, sosok yang menjadi standar kesuksesan yang tak terucapkan. Beban itu pasti terasa berat di pundak Rian.

Aku mendekat. "Butuh bantuan?" tanyaku pelan.

Rian mendongak, terkejut. Wajahnya yang biasa terlihat ceria kini tampak kusut. "Ini ... soal pembagian. Aku tidak mengerti penjelasannya."

Aku menarik kursi dan duduk di sampingnya. Aku melirik soal itu. Pembagian desimal. Aku bisa melihat di mana letak kebingungannya. Tanpa banyak bicara, aku mengambil pensil dan selembar kertas kosong.

"Jangan lihat rumusnya dulu," kataku. "Bayangkan kamu punya sepuluh ribu rupiah, dan kamu mau bagi untuk empat orang. Berapa dapatnya masing-masing?"

"Dua ribu lima ratus," jawabnya cepat.

"Oke. Sekarang, bagaimana kalau uangnya cuma seribu, dibagi untuk empat orang?"

Ia berpikir. "Dua ratus lima puluh perak."

"Tepat. Konsepnya sama. Anggap saja angka di belakang koma itu uang recehnya."

Aku menjelaskannya selama hampir setengah jam, menggunakan analogi uang, kue, dan kelereng. Aku menghindari istilah-istilah rumit yang membuatnya pusing. Perlahan, kekusutan di wajah Rian mulai mengendur. Ia mulai mengangguk-angguk, matanya menunjukkan secercah pemahaman.

"Oh... jadi begitu caranya!" serunya, seolah sebuah lampu baru saja menyala di atas kepalanya. Ia mencoba mengerjakan soal berikutnya dan berhasil.

Ia menatapku dengan tatapan campur aduk antara lega dan tidak percaya. "Kenapa... kenapa Paman lebih pintar dariku, padahal aku lebih tua?"

Kata "Paman" itu keluar begitu saja dari mulutnya, sebuah selip lidah di tengah momen frustrasinya. Itu adalah pengakuan atas statusku yang aneh di keluarga ini.

Aku hanya tersenyum tipis. "Mungkin karena aku lebih banyak membaca daripada main bola," jawabku dengan nada bercanda yang ringan.

Ia tidak tertawa. Ia hanya menatapku. "Ayah juga pintar matematika. Kata Ibu, Ayah pergi ke Jepang biar aku bisa sekolah tinggi."

Di sanalah aku melihatnya. Kerentanan di balik sikapnya yang sok jagoan. Beban menjadi putra dari Mas Agung.

Setelah selesai membantunya, aku kembali ke kamar. Aku berbaring menatap langit-langit, pikiran melayang. Misiku selama ini terasa begitu sempit: hanya Budi. Tapi malam ini, aku menyadari sesuatu. Aku tidak bisa menyelamatkan generasi orang tuaku atau kakak-kakakku dari takdir mereka. Tapi generasi di bawahku—generasi anak-anak—mungkin masih bisa kuubah. Itu bukan hanya Budi. Itu juga Rian.

Dan sebuah pemikiran dingin menghantamku. Mas Agung, kakak sulungku, pergi ke luar negeri dan meninggalkan putranya. Aku, Bintang, sebentar lagi juga akan pergi ke luar negeri... dan meninggalkan Budi. Kami berdua, dua putra jangkung yang berbeda dari keluarga Santoso, seolah berjalan di jalan yang sama.

Perbedaannya adalah, Mas Agung pergi untuk mengejar masa depan. Aku pergi karena aku sudah mengetahuinya. Dan kini, bebanku terasa berlipat ganda. Aku bukan hanya meninggalkan separuh jiwaku. Aku juga akan meninggalkan keponakanku yang canggung, yang diam-diam ternyata juga membutuhkan seorang paman.

More Chapters