Hari itu akhirnya tiba. Udara terasa berbeda sejak pagi. Ada antisipasi yang berderak di seluruh sekolah. Para guru mengenakan kemeja terbaik mereka, dan para siswa diperingatkan berkali-kali untuk bersikap sopan. Hari ini adalah hari kedatangan Mr. Jonathan Harrison.
Saat ia melangkah masuk ke kelasku yang pengap, didampingi oleh kepala sekolah dan Ibu Tati, ruangan itu menjadi sunyi senyap. Mr. Harrison persis seperti yang kuingat dari berita lokal di masa depanku: seorang pria Kaukasia jangkung berusia akhir tiga puluhan, dengan rambut pirang pasir, senyum ramah, dan mata biru yang seolah melihat segalanya. Ia membawa aura dunia yang berbeda, dunia yang jauh dari kota kecil kami yang berdebu.
Ia memperkenalkan diri dalam Bahasa Indonesia yang sedikit kaku namun mudah dimengerti. Ia bercerita tentang Australia, tentang kanguru dan gedung opera, membuat teman-temanku terpesona. Aku hanya diam, mengamati. Ini adalah takdirku yang sedang berjalan ke arahku.
Setelah sesi perkenalan yang ceria, ia berkata, "Baik, anak-anak. Saya ingin tahu, apa cita-cita kalian?"
Jawaban-jawaban khas anak-anak pun mengalir. Dokter. Polisi. Guru. Pilot. Citra, dengan suaranya yang tenang, menjawab ingin menjadi ilmuwan. Saat giliran tiba padaku, semua mata tertuju.
"Bintang?" tanya Mr. Harrison, senyumnya masih tersungging. "Kamu mau jadi apa kalau sudah besar?"
Aku menatap lurus ke matanya. "Saya belum memutuskan," jawabku dalam Bahasa Inggris yang fasih dan tanpa aksen.
Keheningan seketika menyelimuti ruangan. Senyum di wajah Mr. Harrison sedikit memudar, digantikan oleh ekspresi terkejut yang tak bisa disembunyikan. Kepala sekolah dan Ibu Tati bertukar pandang dengan cemas. Teman-temanku, termasuk Citra, menatapku dengan mulut sedikit ternganga.
Mr. Harrison pulih dengan cepat. Ia tertawa kecil, membalas dalam Bahasa Inggris, "Ah, seorang pemikir. Baiklah. Kalau begitu, izinkan saya bertanya sesuatu yang sedikit berbeda."
Ia berjalan mondar-mandir di depan kelas, seolah sedang berpikir keras. Lalu ia berhenti dan menatap ke seluruh kelas, namun aku tahu tatapannya terkunci padaku.
"Ini hanya permainan pikiran," katanya dengan nada iseng. "Bayangkan, jika kalian punya uang yang sangat banyak. Kalian ingin membangun sebuah perusahaan. Tapi kalian tahu, lima tahun dari sekarang, akan ada krisis ekonomi besar yang membuat banyak perusahaan bangkrut. Perusahaan seperti apa yang akan kalian bangun hari ini agar tidak hanya bertahan, tapi juga bisa tumbuh pesat saat krisis itu terjadi?"
Pertanyaan itu melayang di udara, terlalu berat dan abstrak untuk pikiran anak-anak berusia sepuluh tahun. Mereka hanya bisa saling pandang dengan bingung. Ibu Tati tampak ingin menyela, mungkin merasa pertanyaan itu tidak pantas.
Tapi aku tahu. Ini bukan pertanyaan iseng. Ini adalah ujian.
Pikiranku berpacu. Aku bisa tetap diam. Aku bisa memberikan jawaban aman. Itu akan menjadi jalan yang mudah. Aku bisa tetap di sini, di bawah pohon jambu bersama Citra, mengajari Budi mengikat tali sepatunya, membantu Rian dengan PR-nya. Aku bisa menjalani kehidupan yang lebih tenang.
Tapi kemudian, bayangan masa depan yang lain melintas. Bayangan Budi yang tumbuh menjadi pria dewasa yang ragu-ragu. Bayangan Mas Doni dan Mbak Ratna yang pernikahannya hancur karena masalah finansial. Bayangan keluarga yang terus berjuang. Uang bukanlah segalanya, tapi ketiadaannya adalah akar dari banyak penderitaan yang kuingat. Untuk menolong mereka semua, aku butuh kekuatan. Kekuatan finansial, pengaruh, dan pengetahuan. Dan jalan menuju kekuatan itu ada di hadapanku sekarang, dalam wujud pria Australia ini.
Aku mengangkat tangan.
Mr. Harrison menatapku. "Ya, Bintang?"
Aku berdiri. Seluruh ruangan terasa menahan napas.
"Saya tidak akan membangun perusahaan yang menjual barang-barang mewah atau kebutuhan sekunder," aku memulai, masih dalam Bahasa Inggris. "Itu yang pertama kali akan ditinggalkan orang saat krisis. Saya juga tidak akan masuk ke properti, karena gelembungnya akan pecah."
Aku berhenti sejenak, membiarkan kata-kataku meresap. Mr. Harrison mendengarkan dengan saksama, ekspresinya kini serius.
"Saya akan membangun perusahaan yang berfokus pada dua hal," lanjutku. "Pertama, kebutuhan pokok dengan efisiensi maksimal. Sebuah platform teknologi yang menghubungkan petani dan produsen kecil langsung ke konsumen, memotong rantai distribusi yang panjang. Saat krisis, orang tetap butuh makan, dan mereka akan mencari harga termurah. Platform ini akan menyediakannya."
"Kedua," aku menarik napas. "Hiburan digital yang murah dan mudah diakses. Game mobile, platform streaming konten video pendek. Saat orang stres dan tidak punya uang untuk pergi keluar, mereka akan lari ke hiburan di genggaman tangan mereka. Industri ini tidak akan mati, malah akan meledak."
Aku menyelesaikan penjelasanku. Aku baru saja memaparkan model bisnis dari dua jenis perusahaan raksasa yang kuingat dari masa depanku.
Keheningan yang mengikuti penjelasanku terasa berbeda. Bukan lagi keheningan karena bingung, tapi keheningan karena syok. Aku melirik sekilas ke arah Citra. Wajahnya pucat, matanya menatapku seolah aku adalah orang asing yang baru saja merasuki tubuh temannya.
Mr. Harrison berdiri terpaku selama beberapa detik, sebelum akhirnya ia berkedip, seolah terbangun dari mimpi. Ia berjalan mendekati mejaku, menatapku lekat-lekat.
"Anak muda," katanya pelan, nyaris berbisik. "Siapa namamu tadi?"
"Bintang Arjuna, Sir," jawabku.
Ia mengulurkan tangannya. "Jonathan Harrison," katanya, memperkenalkan dirinya sekali lagi, tapi kali ini sebagai seorang kolega, bukan sebagai guru tamu. "Aku rasa... kita perlu bicara."
Aku tahu saat itu juga. Permainan telah berakhir. Aku telah menunjukkan kartuku. Tidak ada jalan untuk kembali. Aku baru saja menjual masa kecilku demi sebuah masa depan yang belum pasti, dan meninggalkan semua orang yang kusayangi dalam kebingungan.