Cherreads

Chapter 7 - Bab 7: Gema di Meja Makan

Kehangatan dari senyum Citra membuntutiku sepanjang sisa perjalanan pulang. Itu adalah perasaan yang asing, sebuah kemewahan yang tidak pernah kuminta. Memiliki teman—teman sejati—terasa seperti menemukan sebuah mata air di tengah gurun. Tapi setiap tegukan dari mata air itu juga diiringi rasa bersalah. Aku menikmati kebersamaan yang normal ini, padahal seluruh keberadaanku di sini tidaklah normal. Setiap momen yang kuhabiskan untuk membangun jembatan dengan Citra terasa seperti pengkhianatan terhadap tujuan awalku yang soliter.

Begitu aku melangkahkan kaki melewati ambang pintu rumah, semua perasaan itu menguap. Persona "Bintang si teman sekelas" luruh seperti kulit ular yang ditinggalkan. Di sini, aku adalah "Kakak Bintang". Peranku berbeda, tujuanku lebih jelas.

Aku meletakkan tasku dan langsung disambut oleh Budi yang berlari dari ruang tengah. Ia memelukku, dan aku langsung mengangkat tubuhnya yang ringan.

"Kak Tang, ayo main," rengeknya.

"Nanti, ya. Kita belajar dulu sebentar, mau?" tawarku.

Di kehidupanku yang dulu, aku benci belajar. Aku menganggapnya sebagai tugas yang membosankan. Akibatnya, fondasi akademisku goyah sejak awal. Aku tidak akan membiarkan Budi yang ini mengalami hal yang sama.

Aku mengambil sebuah buku tulis bekas dan sebatang pensil. Kami duduk bersama di lantai tikar. Misiku sore ini sederhana: mengajarinya menulis namanya sendiri. "B-U-D-I".

"Coba, tarik garis lurus ke bawah," kataku sambil menuntun tangannya. Ia menurut, meskipun garisnya miring dan bergetar. "Bagus. Sekarang buat perutnya."

Tangan mungil Budi berusaha keras meniru gerakanku. Huruf 'B' yang dihasilkannya lebih mirip angka 8 yang gagal. Ia cemberut, bibir bawahnya maju. "Susah."

"Tidak apa-apa," aku menenangkannya, suaraku sabar. Kesabaran ini adalah sesuatu yang tidak pernah kumiliki sebagai Budi. "Coba lihat, kalau perutnya kita buat dari sini..." Aku menunjukkan caranya lagi, dengan gerakan lambat. "Semua yang hebat itu dimulai dari yang susah, Budi."

Kami menghabiskan hampir satu jam untuk empat huruf itu. Budi sempat frustrasi dan nyaris melempar pensilnya, sebuah gema dari emosiku yang dulu. Tapi aku menahannya, mengusap kepalanya, dan memotivasinya dengan lembut. Akhirnya, di bagian bawah halaman buku itu, tertulislah sebuah kata, meskipun bentuknya masih acak-acakan dan ukurannya tidak seragam: BUDI.

Budi menatap hasil karyanya dengan mata berbinar. Sebuah senyum kemenangan terukir di wajahnya. "Bisa! Budi bisa!" serunya bangga.

Melihat kebanggaan murni di wajahnya—wajahku—sebuah perasaan aneh menjalari diriku. Ini bukan hanya tentang mengubah takdirnya. Ini terasa seperti aku sedang menyembuhkan luka lama di dalam jiwaku sendiri. Setiap kesabaran yang kuberikan padanya adalah obat bagi ketidaksabaranku di masa lalu. Setiap keberhasilannya terasa seperti penebusan atas kegagalanku. Di momen itu, misiku tidak terasa seperti beban, melainkan sebuah anugerah.

Malam harinya, aroma sayur lodeh buatan Ibu menyatukan kami semua di meja makan. Suasananya seperti biasa. Mas Doni mengeluh tentang guru IPA-nya, Mbak Ratna bercerita tentang temannya yang baru membeli sepeda, dan Bapak mendengarkan dengan sesekali mengangguk sambil menyendok nasi.

Aku makan dalam diam, dengan Budi duduk di kursi tinggi di sebelahku, berusaha menyuap makanannya sendiri dengan lebih banyak yang tumpah daripada yang masuk ke mulut.

"Oh iya," kata Bapak tiba-tiba, setelah menelan kunyahannya. "Tadi Bapak dengar di kantor kelurahan. Katanya, sekolah dasar negeri tempat Bintang sekolah itu mau kedatangan guru tamu dari luar negeri."

Aku berhenti mengunyah. Sendok di tanganku terasa dingin.

"Guru dari mana, Pak?" tanya Ibu, terdengar tertarik.

"Dari Australia, kalau tidak salah. Bagus itu, biar anak-anak kita wawasannya terbuka," lanjut Bapak, tidak menyadari dampak dari ucapannya.

Di kepalaku, sebuah alarm berbunyi nyaring. Sudah dimulai. Mr. Harrison. Waktunya sudah dekat.

Aku berusaha menjaga ekspresiku tetap tenang, melanjutkan makanku seolah tidak ada yang terjadi. Tapi jantungku berdebar lebih kencang. Ini adalah titik balik yang telah kutunggu dan kutakuti. Momen yang akan membawaku pergi dari semua ini, dari kehangatan meja makan ini, dari tawa Ibu, dari omelan Mas Doni.

Dari Budi.

Aku melirik ke samping. Budi, yang tadinya asyik bermain dengan sayur di piringnya, kini terdiam. Ia tidak mungkin mengerti percakapan orang dewasa. Tapi ia menatapku lekat-lekat, garpu kecilnya berhenti di tengah jalan. Mata polosnya seolah merasakan badai yang tiba-tiba berkecamuk di dalam diriku. Gema emosionalku sampai padanya, membuatnya merasakan ada sesuatu yang salah.

Aku memaksakan seulas senyum dan mengulurkan tangan untuk membersihkan sisa nasi di sudut bibirnya. "Makan yang benar," bisikku.

Ia mengerjap, lalu mengangguk pelan, tapi sorot matanya masih penuh tanda tanya.

Malam itu, saat aku berbaring di tempat tidur, aku tidak bisa tidur. Kabar dari Bapak tadi telah mengakhiri periode kedamaian yang kubangun dengan susah payah. Jam pasir telah dibalik. Setiap hari yang tersisa sekarang terasa sangat berharga. Setiap momen bersama Budi, setiap percakapan dengan Citra, setiap makan malam bersama keluarga, kini memiliki tanggal kedaluwarsa.

Aku harus mempersiapkan diri. Dan yang lebih penting, aku harus mempersiapkan Budi.

More Chapters