Retakan kecil di dinding pertahananku yang disebabkan oleh Citra tidak hilang. Sebaliknya, ia tumbuh menjadi celah tipis yang membiarkan sedikit cahaya masuk. Minggu-minggu dan bulan-bulan berikutnya, Citra dengan sabar dan gigih membongkar batu bata dari benteng isolasiku, satu per satu.
Ia tidak pernah menyerah. Setelah perbincangan pertama kami di bawah pohon jambu, ia mulai menjadikannya sebuah kebiasaan. Ia akan datang dengan bukunya sendiri, duduk di dekatku, dan kami akan membaca dalam keheningan yang nyaman. Terkadang, ia akan menanyakan sebuah soal yang sulit. Di lain waktu, ia akan menunjukkan padaku sebuah gambar di buku Ensiklopedia-nya, sebuah gambar galaksi atau hewan langka, dan bertanya, "Menurutmu ini nyata?"
Perlahan, tanpa kusadari, aku mulai menantikannya. Kehadirannya menjadi bagian dari rutinitasku. Untuk pertama kalinya sejak aku dilahirkan kembali, aku memiliki seseorang yang bisa kuajak bicara—meskipun dalam batasan yang ketat. Aku bisa membahas konsep-konsep abstrak dengannya, tentu dalam bahasa yang disederhanakan, dan ia akan mendengarkan dengan saksama, mencoba memahami.
Bagiku, Citra menjadi satu-satunya anomali dalam rencanaku yang sempurna. Sebuah variabel yang tidak kuantisipasi, namun anehnya tidak terasa mengancam. Ia adalah teman masa kecilku. Satu-satunya teman sejatiku di kehidupan ini.
Rasa hormatku padanya tumbuh, tapi rasa suka Citra padaku berakar dari sebuah insiden yang terjadi di suatu sore yang terik setelah sekolah.
Saat itu, sebagian besar siswa sudah pulang. Hanya tersisa beberapa anak yang bermain di lapangan. Aku dan Citra baru saja selesai piket kelas dan berjalan melintasi halaman. Di dekat gerbang sekolah, kami melihat pemandangan yang tidak mengenakkan. Tiga anak laki-laki dari kelas enam sedang mengganggu Agus, seorang anak pendiam dari kelasku yang terkenal agak ceroboh.
Agus tersandung, dan semua barang bawaannya tumpah dari tasnya yang sudah usang. Buku-buku, kelereng, dan sebuah kotak bekal kecil bergambar pahlawan super terlempar ke tanah berdebu. Anak-anak yang lebih besar itu tertawa terbahak-bahak. Salah satu dari mereka menendang kotak bekal Agus hingga isinya—nasi dan sepotong telur mata sapi—berceceran di tanah.
Wajah Agus memerah, matanya berkaca-kaca menahan tangis.
Naluriku yang berusia 28 tahun berteriak untuk tidak ikut campur. Jangan cari masalah. Itu bukan urusanku. Tapi bayangan diriku yang dulu—Budi yang sering diejek karena lemah—melintas di benakku. Aku tidak bisa diam saja.
Citra di sampingku tampak marah dan ingin berteriak, tapi ia takut. Aku memberinya isyarat untuk diam. Menghadapi mereka secara langsung hanya akan memperburuk keadaan.
Aku berjalan mendekat, tapi tidak ke arah mereka. Aku berjalan ke arah pos satpam yang kosong, lalu tiba-tiba berteriak dengan suara yang dibuat seolah-olah panik.
"Pak Jajang! Pak Jajang! Itu di belakang sekolah ada yang merokok!"
Ketiga pengganggu itu langsung tersentak kaget. Wajah mereka pucat pasi. Ketahuan merokok di lingkungan sekolah adalah pelanggaran serius. Tanpa berpikir dua kali, mereka kabur tunggang langgang, melompati pagar samping daripada melewati gerbang utama.
Tentu saja tidak ada Pak Jajang di sana. Posnya kosong karena beliau sedang berpatroli di sisi lain gedung.
Setelah suasana aman, aku dan Citra mendekati Agus yang masih termangu di tanah. Aku berjongkok dan membantunya memunguti buku-bukunya dan kelerengnya yang tersebar. Aku melihat nasi dan telurnya yang kotor dengan tatapan iba.
"Sudah, jangan dipikirkan," kataku pelan sambil menepuk pundaknya. Aku membuka tasku, mengeluarkan kotak bekalku sendiri yang masih utuh. Ibu selalu memberiku bekal lebih, khawatir aku kekurangan energi karena "terlalu banyak berpikir". Di dalamnya ada roti isi selai cokelat.
"Nih, buat kamu," kataku sambil menyodorkan kotak bekalku. "Aku sudah kenyang."
Agus menatapku dengan mata basahnya yang penuh rasa terima kasih. "Ta-tapi..."
"Sudah, ambil saja. Cepat pulang, nanti ibumu khawatir," kataku, nadaku datar, tidak ingin ada drama lebih lanjut.
Agus mengangguk, menerima roti itu, mengucapkan terima kasih dengan terbata-bata, lalu bergegas pergi.
Aku berdiri dan membersihkan tanganku dari debu. Saat aku berbalik, aku melihat Citra menatapku. Tatapannya berbeda dari biasanya. Rasa ingin tahu di matanya telah bercampur dengan sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih hangat.
"Tadi itu..." ia memulai, suaranya lembut. "Caramu menolongnya... tanpa berkelahi. Dan kamu memberikan bekalmu. Itu... baik sekali, Bintang."
Aku hanya mengangkat bahu, merasa sedikit canggung. "Bukan apa-apa. Kasihan saja."
Kami berjalan pulang dalam diam untuk beberapa saat. Aku bisa merasakan Citra sesekali melirik ke arahku.
"Kamu selalu begitu," akhirnya ia berkata lagi. "Di kelas, kamu terlihat dingin dan tidak peduli. Tapi sebenarnya kamu orang yang paling baik."
Aku tidak tahu harus merespons bagaimana. Kebaikan bukanlah sesuatu yang kurencanakan. Itu adalah sisa-sisa dari diriku yang dulu, dari Budi, yang tidak bisa sepenuhnya kuhapus.
Di persimpangan jalan tempat kami biasa berpisah, Citra berhenti.
"Terima kasih untuk hari ini, Bintang," katanya sambil tersenyum. Senyumnya tulus dan cerah, dan untuk sesaat, aku lupa bahwa aku adalah seorang pria dewasa yang sedang menjalani sebuah misi. Untuk sesaat, aku hanyalah seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang merasa sedikit hangat karena memiliki seorang teman.
Aku hanya mengangguk sebelum berbalik dan melanjutkan perjalananku pulang. Tapi aku tahu, sesuatu telah berubah. Di mata Citra, aku bukan lagi hanya si jenius yang aneh. Aku adalah seseorang yang bisa diandalkan. Seseorang yang ia sukai.
Dan bagian paling berbahaya dari semua itu adalah... sebagian kecil dari diriku merasa senang karenanya. Sebuah perasaan yang harus segera kupadamkan sebelum tumbuh menjadi masalah. Karena di rumah, separuh jiwaku yang lain sedang menungguku. Dan hanya dialah yang menjadi prioritas.