Waktu melompat. Tahun 2002. Aku, Bintang Arjuna, kini berusia enam tahun.
Bagi keluargaku, aku adalah keajaiban. Aku bisa membaca koran Bapak pada usia tiga tahun. Aku belajar Bahasa Inggris dan Jepang dari siaran televisi yang kuingat akan populer di masa depan, membuat Ibu dan Bapak kebingungan sekaligus bangga luar biasa. Aku adalah putra jenius mereka, harapan mereka.
Tapi bagiku, tahun itu ditandai oleh satu hal yang jauh lebih penting. Hari itu, Ibu dibawa ke puskesmas terdekat. Bapak tampak cemas, sementara Mas Doni dan Mbak Ratna dititipkan ke rumah tetangga. Aku menolak. Aku duduk diam di kursi ruang tamu, menunggu. Aku tahu persis apa yang sedang terjadi.
Hari ini adalah hari kelahiranku yang dulu. Hari lahir Budi Santoso.
Sore harinya, Bapak pulang dengan senyum lebar, menggendong sebuah buntalan kain. "Bintang, sini lihat. Kamu punya adik laki-laki."
Jantungku, jantung kecil anak enam tahun ini, berdebar kencang. Aku mendekat dengan langkah pelan. Di dalam selimut itu, ada sesosok bayi mungil yang tertidur. Wajahnya... adalah wajahku yang kuingat dari album foto masa kecilku. Polos, biasa saja, khas keluarga Santoso.
"Boleh aku gendong, Pak?" pintaku dengan suara yang bergetar.
Bapak ragu sejenak, tapi kemudian dengan hati-hati meletakkan bayi itu di lenganku yang kurus selagi aku duduk di lantai.
Saat kulit kami bersentuhan, dunia seolah berhenti berputar. Semua kebisingan di sekitarku lenyap. Yang ada hanya aku dan bayi ini. Ini bukan sekadar melihat diriku yang dulu. Ini adalah perasaan menemukan kepingan jiwa yang hilang. Rasa sakit dari keterasingan yang kurasakan selama enam tahun terakhir tiba-tiba mereda, digantikan oleh perasaan utuh yang aneh dan mendalam.
Bayi itu, yang tadinya sedikit rewel, langsung terdiam di pelukanku. Matanya yang kecil mengerjap terbuka, menatap lurus ke arahku. Tidak ada tangisan. Hanya ada pengakuan. Seolah-olah jiwanya yang baru lahir mengenali esensi yang ada di dalam diriku.
"Dia langsung diam digendong Bintang," celetuk Mbak Ratna yang baru pulang.
Bapak tersenyum. "Wah, Bintang akan jadi kakak yang baik. Siapa namanya, Bintang? Bapak belum dapat nama yang pas."
Aku menatap lekat wajah adikku—wajahku. "Budi," bisikku. "Namanya Budi Santoso."
Bapak tertegun sejenak, lalu tertawa. "Budi? Nama yang bagus. Sederhana dan penuh arti. Baiklah, Budi Santoso."
Di momen itu, aku bersumpah dalam hati. Kehidupan Budi Santoso yang ini tidak akan sama. Aku, Bintang Arjuna, sang kakak yang tidak seharusnya ada, akan memastikan gema kehidupanku yang gagal tidak akan pernah menimpanya.