Cherreads

Chapter 19 - Bab 19 – Pertemuan Terakhir

Langit Singapura malam itu bersih dan berkilau. Gedung-gedung tinggi berdiri angkuh, lampu-lampu kota menyala seperti bintang-bintang yang ditata manusia. Di jantung kota, sebuah gedung mewah bernama SkyAurora International sedang dipenuhi para tamu penting tokoh-tokoh politik, investor dunia, dan media internasional.

Malam itu adalah malam pembukaan Konferensi Global Yayasan Rahayu.Dan di tengah semua keglamoran, berdiri seorang pria dengan senyum elegan: Aditya Rahayu.Paman Alira.Dalang dari semua kematian.

Ia berdiri di panggung utama, mengenakan jas abu terang dan dasi emas. Di belakangnya, layar LED besar menampilkan logo yayasan dan kutipan penuh kemanusiaan.

"Untuk dunia yang lebih bersih, lebih sehat, dan lebih adil."

Sementara itu, di luar gedung, mobil van tua berhenti perlahan di bawah bayang-bayang. Alira keluar lebih dulu, mengenakan gaun hitam malam yang elegan, rambutnya disanggul sederhana. Tapi di balik gaun itu, tersembunyi mikrofon, kamera tersembunyi, dan satu salinan penuh semua bukti yang tersisa.

Revan dan Andre menunggu di belakang. Revan sudah bisa berjalan meski masih memakai perban di bahunya. Andre mengatur sistem pemancar cadangan dari laptop.

"Siarkan langsung ke tiga platform sekaligus. Biar tak bisa dibungkam," kata Alira sambil mengecek sambungan.

Andre mengangguk. "Siap. Sekali kau mulai, tak ada jalan kembali."

Di dalam aula konferensi, lampu diredupkan. Semua mata tertuju ke panggung.Aditya melangkah ke mikrofon. "Selamat malam, para hadirin terhormat. Hari ini, kita berkumpul bukan hanya untuk merayakan kemajuan, tapi untuk membuktikan bahwa..."

Klik.Suara mikrofon mati. Layar belakang padam.

Semua tamu menoleh heran. Operator teknis bingung.

Lalu layar menyala kembali.

Namun bukan logo yayasan. Melainkan rekaman wajah Reyan Adityasena.

"Jika kalian menonton ini, maka saya sudah mati. Tapi kematian saya bukan kecelakaan. Saya dibunuh, oleh sistem yang kalian puja... dan oleh adik ipar saya sendiri."

Kejut. Panik. Kamera berputar. Suara-suara mulai riuh.

Aditya membeku. Tangannya mengepal.

Alira melangkah ke panggung.Setiap langkahnya terasa seperti dentuman palu ke nurani Aditya. Ia berdiri di depan pria itu, wajahnya tenang namun matanya menyala.

"Selamat malam… Paman," ucapnya tajam. "Atau... lebih tepatnya, pembunuh orang tuaku."

Aditya mencoba tertawa. "Keponakanku yang pemberani. Kalian dengar itu? Fitnah. Anak ini sedang..."

Alira mengangkat tangannya. Sebuah rekaman suara diputar. Suara Aditya sendiri.

"Kau terlalu emosional, Reyan… Eksperimen ini menyelamatkan jutaan orang… Tapi kau hanya penghalang."

Layar belakang mulai memutar rekaman eksperimen Bayangan Alpha, lalu muncul data nama-nama korban, daftar pembayaran, bahkan akun bank.

Suara-suara para tamu berubah. Dari penasaran menjadi jijik. Dari kagum menjadi takut.

Beberapa diplomat berjalan keluar. Media internasional mulai mengambil gambar dan siaran langsung.

Aditya menatap Alira penuh kebencian, tapi juga kekalahan.

"Kau pikir kau menang karena membuat mereka percaya?""Aku menang karena tak butuh kepercayaan untuk bicara kebenaran," jawab Alira tegas.

Tiba-tiba, dua pria berseragam mendekat. Bukan pengawal. Tapi Interpol.Dengan tenang mereka menahan Aditya dan membacakan haknya.

Aditya memberontak. "Kalian akan menyesal! Ini hanya drama murahan! Aku aku bisa beli kalian semua!"

Tapi tidak malam ini.Malam ini, dunia melihat.Dan tidak ada sensor yang bisa menutup mata miliaran orang yang menonton secara langsung.

Beberapa jam kemudian.

Di atap gedung SkyAurora, Alira berdiri sendirian, memandangi lampu kota yang seperti menyala untuknya. Angin malam menerpa wajahnya. Langkah pelan terdengar dari belakang.

Revan mendekat.

"Sudah selesai," katanya. "Setidaknya… babak itu."

Alira mengangguk pelan. "Tapi rasa kehilangan tetap ada. Tak ada kemenangan yang bisa menghapus luka."

Revan menatapnya. "Tapi luka membuatmu kuat."

Alira menoleh padanya. "Dan cinta… membuatmu bertahan."

Mereka saling menatap dalam diam. Tak butuh kata-kata lagi.

Revan menggenggam tangan Alira.

Dan di atap gedung itu di tengah kota yang kini menyaksikan kebenaran yang tak lagi dibisukan dua orang yang disatukan oleh luka dan keadilan berdiri tegak.

Bab 19 berakhir dengan dunia berubah bukan karena revolusi besar, tapi karena seorang perempuan muda yang berani berdiri di hadapan bayangan dan berkata:

"Aku tidak takut. Aku tidak akan diam. Dan aku tidak akan hilang."

More Chapters