Satu bulan telah berlalu sejak malam yang mengubah segalanya.
Arkana Corp kini tinggal nama. Setelah siaran langsung Alira mengguncang dunia, tak hanya Aditya Rahayu yang ditangkap, tapi juga seluruh jajaran petinggi yang selama ini tersembunyi di balik "lembaga filantropi" dan "program kemanusiaan".
Rangkaian penyelidikan internasional mengungkap skema eksperimen genetik, manipulasi data medis, hingga pencucian dana proyek global. Dunia gempar.
Tapi bagi Alira, semua keadilan itu… bukan kemenangan.Itu penguburan. Penguburan atas apa yang selama ini ia cari, ia lawan, dan ia korbankan.
Hari ini, ia kembali ke rumah tua Cipanggeran. Udara pagi segar. Rumah itu kini tampak bersih dan dirawat, meskipun tetap sederhana. Tak ada lagi file tersembunyi. Tak ada peta konspirasi di dinding. Hanya ketenangan, dan suara dedaunan yang bergesek ditiup angin.
Di sudut halaman belakang, Alira duduk di kursi kayu kecil, mengenakan sweater abu dan celana jeans lusuh. Di tangannya, liontin bunga teratai—yang dulu menyimpan rahasia, kini menjadi satu-satunya peninggalan ibunya.
Ia membukanya pelan. Tak ada lagi chip. Hanya foto kecil ibunya, tertawa bersama ayahnya.Air matanya menetes pelan. Tapi bukan karena luka. Melainkan karena ia bisa mengingat mereka tanpa amarah lagi.
Andre datang menyusul, membawa dua cangkir kopi panas.
"Pagi, Kapten Kebenaran," godanya ringan.
Alira tersenyum tipis. "Lebih cocok disebut Mantan Eksperimen Kegagalan."
Andre duduk di kursi seberang. "Kau tahu? Kalau kau gagal… maka dunia ini sangat beruntung dengan kegagalan seperti itu."
Mereka tertawa pelan.
"Kamu yakin nggak mau ikut dalam program perlindungan saksi?" tanya Andre kemudian. "Setelah semua ini, kamu bisa hidup nyaman di mana saja."
Alira menggeleng. "Aku lelah bersembunyi. Aku sudah hidup cukup lama dalam bayangan. Sekarang… aku mau hidup sebagai diriku sendiri."
Menjelang sore, Revan datang. Penampilannya berbeda. Tak lagi dalam jas formal atau setelan hitam. Ia mengenakan jaket sederhana, celana jeans, dan tatapan yang jauh lebih ringan.
Ia mendekat. "Aku kira kamu belum siap melihatku," katanya perlahan.
Alira menatapnya. "Aku tidak tahu aku siap atau tidak. Tapi aku tahu... kamu tidak pernah benar-benar pergi."
Revan duduk di sampingnya. Hening sesaat.
"Setelah ini… apa yang akan kamu lakukan?" tanya Revan.
Alira menjawab tanpa ragu, "Membangun sesuatu yang tidak berbasis kebohongan. Sekolah. Klinik. Rumah aman. Untuk anak-anak korban sistem. Mereka butuh tempat tumbuh… yang tidak diawasi kamera."
Revan tersenyum. "Kau selalu tahu caramu berdamai."
"Dan kau?" tanya Alira.
"Aku tidak tahu. Tapi selama masih bisa berjalan di sampingmu, itu sudah cukup."
Senja mulai turun. Langit melukis semburat jingga dan merah muda yang lembut.
Alira berdiri, menatap ke arah matahari yang mulai tenggelam.
"Dendamku sudah selesai," ucapnya pelan."Tapi kebenaranku baru saja dimulai."
EPILOG (beberapa bulan kemudian):Sebuah bangunan sederhana berdiri di atas tanah bekas fasilitas Arkana Lama yang kini dihancurkan. Namanya:
"YAYASAN RAHAYU – RUMAH CAHAYA"Didirikan oleh Alira Putri Adityasena – untuk anak-anak yang ingin hidup, bukan dikendalikan.
Bab 20 – Penutup berakhir dengan satu kalimat di halaman terakhir buku catatan ayahnya, yang kini disimpan Alira di rak utama rumah barunya:
"Bayangan tak pernah bisa dibunuh. Tapi cahaya tak perlu takut pada bayangan."
SELESAI