Langit sore itu kelabu, dan udara masih mengandung sisa-sisa hujan semalam. Tanah di pemakaman keluarga kini basah dan licin, penuh dengan aroma tanah bercampur melati layu. Meski pemakaman telah selesai tiga hari lalu, Alira kembali ke sana, mengikuti kata hatinya atau lebih tepatnya, firasat yang tak bisa ia abaikan.
Di tangan kirinya, ia menggenggam foto tua dari dalam brankas: dua pria muda yang tersenyum berdiri berdampingan salah satunya ayahnya, dan satu lagi pria yang sangat dikenalnya, meski baru sekali bertemu. Revan.
Wajah pria itu menghantuinya. Tatapan dingin di pemakaman, cara dia mengawasinya dari kejauhan, langkah-langkahnya yang mantap seperti sosok yang tahu lebih banyak daripada yang terlihat.
Alira berjalan menyusuri barisan nisan, kakinya menyentuh dedaunan basah yang gugur dari pepohonan tua. Ia berhenti di depan makam orang tuanya. Tangannya menyentuh batu nisan itu dengan lembut.
"Ma... Pa... siapa sebenarnya dia?" bisiknya lirih. "Apa benar dia Revan? Apa dia teman Ayah... atau musuh?"
Saat itulah suara langkah terdengar di belakangnya. Tenang. Teratur. Tapi cukup membuat bulu kuduk Alira meremang.
Ia berbalik.
Dan di sanalah dia berdiri. Pria itu.
Setelan hitam, kemeja abu-abu, rambut hitam tertata rapi, dan mata kelam yang memancarkan sesuatu yang tak bisa dijelaskan dingin, berwibawa, tapi... penuh beban.
"Alira Putri," ucapnya pelan. Nada suaranya dalam dan stabil. "Kau mirip dengan ibumu."
Alira terkejut. "Kau mengenalku?"
Pria itu mengangguk. "Aku mengenal keluargamu lebih dari yang kamu pikirkan."
"Siapa kamu sebenarnya?"
"Namaku Revan."
Alira mundur satu langkah. "Kau kenal Ayahku."
"Lebih dari itu. Kami dulu bersaudara. Dalam hal yang tidak bisa dijelaskan dengan darah."
Alira menggenggam erat foto di tangannya. "Kalau begitu... kenapa kau tidak datang saat pemakaman?"
Revan menatap nisan orang tua Alira, matanya redup. "Aku ada di sana. Tapi kau tidak melihatku."
"Kenapa kau datang sekarang?"
Revan menatap langsung ke mata Alira. "Karena kau sudah membuka brankas itu. Karena kau sudah menemukan foto ini."
Ia mengangkat tangan, menunjukkan ponselnya dengan gambar yang sama foto yang diambil dari dalam brankas. Alira membeku. Bagaimana bisa Revan tahu?
"Jangan terlalu terkejut, Alira," lanjut Revan tenang. "Aku sudah memantau keluargamu sejak lama. Tapi bukan karena aku musuh."
"Kalau begitu, kenapa Ayahku memperingatkanku tentangmu? Kenapa dia menulis namamu dalam surat wasiat dan menyuruhku untuk tidak percaya padamu?"
Tatapan Revan mengeras. Untuk pertama kalinya, ia terlihat... terluka.
"Karena Ayahmu tidak tahu semuanya. Kami pernah berada di sisi yang sama. Tapi ketika kebenaran mulai terungkap, kami memilih jalan yang berbeda."
Hening meliputi mereka. Hanya suara angin yang bertiup melewati pepohonan tua.
Alira tidak tahu apakah ia bisa mempercayai pria ini. Tapi entah mengapa, ia juga tak bisa memalingkan diri darinya. Revan memiliki aura yang menarik dan menakutkan dalam satu waktu.
"Kalau begitu jelaskan padaku," ujar Alira dengan suara gemetar. "Apa sebenarnya Arkana Corp? Apa yang sebenarnya terjadi lima belas tahun lalu?"
Revan menarik napas dalam. "Kalau kau ingin tahu kebenaran, maka kau harus siap. Karena kebenaran tidak selalu menyelamatkan. Kadang ia menghancurkan."
Alira mengangguk pelan. "Aku tidak takut."
Revan tersenyum tipis. "Itu yang membuatmu berbahaya."
Revan merogoh saku jasnya dan menyerahkan sebuah flashdisk pada Alira. "Ini. Isinya rekaman video pertemuan rahasia antara direksi Arkana dan beberapa pejabat negara. Salah satunya... mungkin orang yang kau kira bisa kau percaya."
Alira menerima benda itu dengan tangan gemetar.
"Kita akan bertemu lagi," ucap Revan sambil berbalik pergi. "Tapi mulai sekarang... kau harus lebih hati-hati. Karena sejak kau membuka brankas itu, mereka tahu kau masih hidup... dan mereka tidak akan diam."
Alira berdiri diam, menatap punggung pria itu yang perlahan menghilang di balik kabut senja.
Pertemuannya dengan Revan tidak memberi jawaban, tapi justru membuka lebih banyak pertanyaan. Dan satu hal kini pasti ia telah masuk terlalu dalam. Tak ada jalan kembali.
Bab 3 berakhir dengan Alira yang menggenggam dua flashdisk satu dari ayahnya, satu dari Revan dan keyakinan bahwa rahasia besar akan segera terungkap... meski itu akan mengubah hidupnya selamanya.