Dan ternyata ....
Konser di Théâtre des Champs-Élysées Tidak Lagi Sekadar Panggung.
Bukan hanya sebuah undangan.
Bukan sekadar konser.
Ini adalah panggilan dari seorang legenda kepada yang baru memulai.
Dan dalam keheningan lembar partitur tua itu, aku tahu, aku harus memberikan seluruh jiwa.
Setelah perbincangan ku dan Jean-JacquesKantorow selesai, kita bersalaman.
Kemudian berpamitan.
Bukan berpisah untuk tidak bertemu lagi..
Namun perpisahan yang akan ada pertemuan kedua.
***
Langkah-langkah berat sehabis konser seharusnya terasa ringan.
Tapi malam itu... entah mengapa, ada sesuatu di dada yang menggantung.
Setelah Jean-Jacques Kantorow dan ajudannya meninggalkan ruangan dengan elegan, menyisakan aroma parfum tua dan getar-getar kata "kolaborasi", aku hanya bisa berdiri termangu.
Vario menutup pintu pelan,
lalu menoleh padaku.
Aku memeluknya spontan.
Bahunya hangat, dan untuk sejenak,
aku merasa aman.
“Kamu hebat.” kataku lirih.
Ia terkekeh pelan, menepuk punggungku.
“Tidak. Kamulah yang hebat.” jawabnya.
“Aku hanya membuka pintu. Kau yang memainkan lagunya.”
Kami tertawa kecil.
Tapi ada diam yang menunggu.
Setelah itu aku berganti pakaian.
Setelan resmi konser kulepas, diganti dengan mantel panjang dan turtleneck hitam.
Biolaku telah rapi dalam sarung kulitnya. Wajahku bersih, rambutku disisir ke samping. Berbeda jauh dari pria yang malam itu, di taman dekat Panthéon yang tampak acak-acakan dengan topi lebar dan syal murahan.
Aku keluar dari ruang ganti.
Di luar, Tristanio dan teman-teman orkestra lainnya sudah menungguku.
"Dinner ya? Kita rayakan!" teriak Tristanio sambil mengangkat ponsel, seolah sedang menandai restoran terdekat.
Aku mengangguk. "Tentu. Aku ikut."
Tapi belum sempat melangkah jauh, sebuah suara menghentikan nafasku.
“Halo, Verez.”
Suara pria.
Yang terdengar Dalam.
Jernih.
Tapi... anehnya, familiar.
Akumenoleh.
Pria tinggi dengan coat mahal berdiri tenang di depan pilar dekat tangga spiral gedung konser.
Sorot matanya tajam tapi hangat.
Senyumnya sopan.
Tapi hatiku berdesir aneh.
Dia...
Pasangan gadis itu.
Gadis yang di taman.
Yang kulihat... Mengobrol dan tidak sengaja mencium gadis itu.
Langkahku ragu.
Tapi Vario di sampingku mendekatkan wajah nya dan membisik:
“Dia bangsawan. Namanya Sebastian Phillips. Katanya dia akan mengadakan acara besar... dia adalah orang yang akan menyewamu bulan depan.”
Aku menyembunyikan keterkejutan di balik senyum profesional.
“Bonsoir.” aku menyapa.
“Mi è piaciuta la tua esibizione. Piacere, mi chiamo Sebastian.”
(Saya menyukai pertunjukan Anda. Senang bertemu, saya Sebastian.)
Ternyata dia tahu aku dari Italia.
Aku tersenyum, kini sudah benar-benar ingat namanya.
“Verez Montegno.” sahutku sambil menjabat tangannya.
Genggamannya kuat.
Matanya menatapku dalam-dalam.
Tapi tidak ada pengenalan di sana.
Tidak ada jejak bahwa dia tahu aku pernah melihat mereka, berdua di taman itu.
“Vorrei invitarti a suonare al mio matrimonio. Ti farò sapere la data e il luogo tramite il tuo manager.”
(Saya ingin mengundang Anda untuk bermain di pernikahan saya. Tanggal dan tempatnya akan saya informasikan ke manajer Anda.)
Vario hanya tersenyum di sampingku, anggukannya seperti sudah mengetahui semuanya.
“Va bene. Mandate pure i dettagli.”
(Baik. Kirimkan saja detailnya nanti.)
kataku profesional sambil menepuk sarung biola di bahuku.
Sebastian tersenyum.
“Posso fare una foto con te?”
(Boleh saya berfoto dengan Anda?)
Aku sedikit terkejut.
Sekilas aku ingin bertanya, apakah kau sungguh tidak mengenaliku?
Tapi tentu saja tidak.
Di taman itu aku hanyalah siluet, seorang pemuda asing dengan rambut kusut dan suara serak.
Hari ini aku Verez Montegno, dengan wajah penuh lampu dan panggung ketenaran.
Aku mengangguk.
Kami pun berfoto bersama, dan senyumnya tulus, nyaris seperti teman lama.
“Grazie mille.” katanya setelah selesai.
(Terima kasih banyak.)
“Arrivederci.” sahutku.
(Sampai jumpa.)
Aku melangkah pergi pelan.
Vario tetap di sana, berbicara dengan Sebastian.
Tapi belum jauh dari koridor itu, belum sampai ke tangga depan, aku mendengar suara yang menghentikan segalanya.
“Sebastian! Where have you been?”
(Sebastian! Kamu ke mana saja?)
Suara perempuan.
Lembut.
Cemas.
Akrab.
Aku menoleh... dan di sana adalah dia.
Gadis bernama Kareesa.
Gadis itu.
Gadis dengan rambut curly dan mata senja.
Ia berdiri beberapa meter dariku, tepatnya di belakangku, memanggil pria itu, dia tidak menyadari kehadiranku.
Tapi tatapannya... hanya pada Sebastian.
Bukan padaku.
Aku berdiri di tempat.
Menghentikan langkahku.
Hanya sesaat.
Melihat mereka.
Melihat bagaimana Sebastian memutar tubuhnya dan menatapnya dengan senyum hangat.
Dan dalam momen itu, aku sadar...
Malam itu hanya untukku.
Tapi gadis itu bukan.
Aku menunduk.
Menyesap udara malam Paris yang mulai dingin.
Lalu melangkah lebih cepat, meninggalkan pasangan itu dalam dunia mereka sendiri.
Suara mereka menghilang, tertelan oleh langkah-langkah kecilku menuju lobi.
Aku sadar di balik Biola, Ada Luka yang Tak Bisa Didengar...
Senyuman di wajahku tetap terpasang.
Tapi hanya Vario, yang menyusul kemudian seolah hanya dia yang bisa membaca diamku.
“Are you okay?” tanyanya pelan.
Aku hanya menatapnya, lalu tersenyum.
"Tomorrow's the day we start rehearsing our duet with Kantorow!"
(Besok... kita mulai latihan duet dengan Kantorow ya.)
kataku ringan.
Tapi dalam hati, aku tahu:
Aku akan bermain di pernikahan gadis itu. Aku akan memetik dawai demi dawai... untuk melepas dia, bukan untuk memilikinya.
